Rédemption -3-

1K 79 2
                                    

Happy reading!💌

Tap the star, S'il vous plaît! ★😊★

...

Kami sampai di sebuah danau. Jauh ku pandang, terdapat pegunungan yang menakjubkan dengan semua warna yang terdapat di dalamnya yang mengelilingi danau. Hutan tundra pun menyejukkan di sekitarnya. Berbagai jenis flora yang selalu membuatku merasa sejuk, di samping hatiku semakin menghangat, menghangat dan bisa saja melompat dari tempatnya saking merasa bahagia.

"Kalau saja aku tahu tempat ini sejak dulu, pasti sudah ku kunjungi setiap akhir pekan." Ucapku padanya, Georgia pun tersenyum manis sembari menari-nari kecil di atas rerumputan hijau di tepi danau.

Aku senang melihatnya. Ia bahkan melupakan lututnya yang sakit. Semua keluh kesah terbayar sudah di danau ini. Riak kecil di air danau, menebus kesalahanku di kolam renang di pagi itu. Pepohonan yang tinggi menjulang menggapai langit, menebus kesalahanku di dekat dua tanaman hias di ujung kolam renang.

Saat itu, aku ingin kembali sesegera mungkin, tapi pekerjaan menjadi lebih rumit. Aku butuh menuangkan konsep yang berdatangan tanpa aba-aba. Aku menatap matanya yang sekarang sibuk memandangi rumah kecil di dekat danau dengan cerobong asapnya. Asapnya terlihat egois, acuh, sama seperti asap rokokku di pagi yang sama.

"Karl," lirihnya. Akhirnya, ia bicara padaku. Ku pikir perbincangan singkat kami di tempat makan akan menjadi akhir dari pertemanan kami.

"Lihatlah, kau harus mencoba melukisnya. Aku suka sekali melihat warna pada gunung, juga air danaunya."

"Aku juga suka. Aku suka semua warna." Balasku sembari mendudukan diri di atas pohon besar yang sudah lama tumbang dan sengaja dibuat sebagai tempat duduk di sana. Ku lihat Georgia tersenyum melihatku.

"Hitam di atas semuanya?"

"Hitam adalah warna bahagiaku. Aku memakai abu ketika aku kebingungan. Ya, setidaknya itu yang sering ku alami sehingga itu menjadi sugesti." Ia pun terkekeh pelan mendengar penjelasanku.

Aku suka melihatnya terkekeh sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Ia terlihat seperti Kyle. Mungkin Kyle versi wanita, mereka sama-sama pendiam tapi banyak bicara. Terutama supel, mungkin itu sebabnya aku jadi menyukainya. Kalau saja aku bisa memilih untuk adik perempuan di dunia ini, aku akan meraih nama Georgia Whiteley. Dengan rambut cokelatnya tentu saja.

"Jadi, bagaimana dengan tawaran pekerjaan itu?"

"Georgia, kau sudah resmi menjadi asistenku. Sudahlah." Ia masih terdengar kebingungan dan cemas dengan keputusan meninggalkan pekerjaannya.

"Benarkah? Apa itu benar-benar nyata?" ia berdecak bahagia. Matanya berbinar-binar dan senyumnya lebar sekali. Ia berjingkrak kegirangan sembari mengaum seperti serigala. Auman bahagia tentunya.

Sebenarnya aku sudah tertarik padanya. Semenjak ia masuk ke studioku dengan dua gelas jus aprikot di atas nampannya. Ketika, aku berpura-pura bahwa aku lupa siapa dirinya, siapa namanya. Namun aku terlalu malas memulai usaha pendekatan. Aku terlalu malas saat itu.

Hari-hari selanjutnya aku mulai memikirkan cara agar bisa melihatnya, lagi dan lagi. Tanpa memikirkan bahwa itu akan terdengar tak wajar bagi orang lain karena aku sudah menyematkan cincin tunangan di jemariku. Ini bukan lah urusan yang sama. Aku menyukai Georgia karena dia adalah gadis yang baik, di mana aku butuh satu teman sepertinya.

"Tapi, bagaimana dengan paman dan bibimu?" sambungku, tak mau ada akhir dari obrolan kami.

Wajahnya pun berubah secepat cahaya petir. Apa aku salah mengucapkan sesuatu?

"M-mereka tak tahu."

"Tenang saja, aku akan memberi upah yang cukup."

Georgia tersenyum-senyum sendiri. Aku mengembuskan napasku singkat sembari terkekeh pelan. Upah adalah kata yang bisa mengundang senyumnya. Dasar.

"Ah, jangan katakan padaku tentang itu!" ia akhirnya menimpali ucapanku setelah sekian lama ia tersenyum sendirian dengan apa yang ada di pikirannya.

"Hah, kau baru berbicara?" ucapku yang sekaligus menjadi sebuah pertanyaan untuk tingkah konyolnya.

Georgia dan aku menghabiskan banyak waktu di sana. Meskipun hanya sekedar memandang langit dan air, juga pepohonan tinggi, kami menikmati waktu kami. Sampai aku hampir malas bergerak untuk pergi dari sana. Georgia bahkan menyeretku untuk pulang setelah awan sore dengan senja jingganya menggantikan awan putih di langit biru. Dan aku menyerah, aku meminta maaf pada danau karena harus pergi ketika kami saling bertatapan dan berkenalan.

Georgia menarik tanganku, membantuku bangkit. "Ayolah! Tempat ini hampir sepi, Karl."

Ia membawaku berjalan. Tidak, kami tidak berpegangan tangan. Aku hanya mengikuti jejaknya yang berjalan di depanku. Dan akhirnya, aku bisa menatapnya dari belakang. Setelah ku paksa dia untuk berjalan di depanku.

.
.
.

"Ayo, Georgie!"

Pagi selanjutnya, Anna mendesak agar aku cepat-cepat menyusulnya di luar dapur. Aku bergegas mengambil tas jinjing khusus perbelanjaan bahan makanan. Aku berhenti sejenak untuk melirik ke arah ruang tamu, di mana Karl sedang menerima tamunya, Ortensia dan Mia. Seorang wanita yang lebih tua darinya dan seorang lagi lebih muda darinya. Kedua wanita itu menyesap secangkir kopi dan menyedot rokoknya masing-masing. Wanita Italia itu memiliki rambut berwarna cokelat keemasan dan ikal yang mengingatkanku pada patung-patung Yunani dengan mata besar mereka.

Karl melihatku, ia tersenyum kecil seraya mengangkat kedua alisnya, seolah ia menyapaku tanpa bahasa. Senyumannya ibaratkan peluru yang sedang menuju ke dadaku, aku beringsut menjauh dan segera berlarian mengejar Anna yang sudah berada di mobil.

Ya, percayalah, aku terlihat seperti orang bodoh.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang