Let Me Know -2-

983 73 4
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

Selamat berbaper-baperan:')

...

"Ku harap kalian menyukai selainya." Ucap Anna lirih.

Semua orang berkumpul di ruang makan, menyantap sarapan. Georgia, rambutnya yang panjang diikat kebelakang dengan longgar. Karl duduk di sebelahnya, tak ingin berada jauh darinya. Georgia hanya memandangi sarapannya serta memainkan garpu, menusuk-nusuk rotinya perlahan dengan menyandarkan kepala di tangannya yang berdiri di atas meja makan.

Karl menatap Anna, kemudian melirik ke arah Georgia yang berada di sampingnya. "Makan sarapanmu, Georgia." Ucap Karl penuh perhatian. Sesaat setelah Georgia kembali dalam keadaan yang mengkhawatirkan, Anna segera menghubungi Karl yang berada di Sacramento.

Georgia tersenyum tanpa menolehkan wajahnya pada Karl. Steve mencoba mencairkan suasana, menanyakan beberapa hal mengenai keluhan Andreas dengan tanaman hiasnya atau rumput-rumput liar yang mulai tumbuh subur. Georgia memotong rotinya: roti panggang dengan selai stroberi dan nutella. Semua orang melemaskan bahunya bersamaan melihat Georgia melahap makanannya.

"Jangan khawatir, semuanya. Aku baik-baik saja." Georgia tersenyum kecil, bibirnya pucat pasi. Karl bisa merasakan suhu tubuh Georgia yang menghangat. Karl memgunyah rotinya perlahan, tak bisa melepaskan pandangannya dari Georgia. Georgia terkekeh pelan menatap Karl.

Selai stroberi buatan Anna terasa enak sekali untuk Georgia. Namun, pikirnya, selai tersebut terasa berbeda saat ia mulai memggerusnya di dalam mulut. Darah, Karl lekas bergerak cepat mengambil serbet bersih di atas pahanya. Karl meraih tengkuk Georgia dengan lembut dan hati-hati. Pria itu mengusapkan serbetnya pada Georgia. Georgia tertawa kecil, ternyata itu darah, ia baru saja merasakan darahnya sendiri yang mengucur dari hidungnya. Anna beranjak dari kursinya, menghampiri Georgia dan Karl sementara sisanya berdiri menghentikan kunyahan mereka, berdiri dengan wajah cemas. Serbet bersih tersebut perlahan semakin berwarna, merah segar.

"Tenanglah, kau baik-baik saja." Karl menahan serbet tersebut di hidung Georgia. Napas Karl terputus-putus khawatir. "Andreas, tolong ambilkan beberapa es, maaf."

Andreas mengangguk cepat, segera berlarian menuju dapur untuk mengambilkan es. Anna memegang kedua sisi pundak Georgia. Georgia menyambut tangan Anna yang berada di pundaknya. Georgia mengelusnya pelan dan lembut. Andreas segera kembali dengan esnya. Karl menyelimuti es tersebut dengan serbet baru yang Steve ulurkan. Karl dan Steve bertatap mata, Karl berterimakasih lewat tatapan matanya.

"Karl, biar aku saja." Georgia mulai merasa tak enak pada semua orang. Namun Karl menyuruhnya untuk ttap tenang dan ia akan mengurusinya untuk Georgia.

.
.
.

Sinar matahari kian menghangat, sang surya semakin naik membujuk mereka yang mencari kesenangan di musim panas. Dedaunan di tubuh pohon linden, di mana aku bersandar sekarang, menari-nari mengikuti arahan angin yang bercabang. Pohon linden menjadi tempat peraduanku. Pernah saat itu, aku malah membawa Karl ke sini di samping keinginanku untuk membawanya ke danau.

Aku masih bisa merasakan hangatnya kulit tangannya yang menggenggam tanganku walau itu hanya sekejap. Aku memejamkan mataku perlahan-lahan, mencari bayangan Karl, melihatnya semakin mendekat di dalam kegelapan mataku yang tertutup rapat, ia tersenyum dan berjalan ke arahku. Karl mengacak-acak rambutku perlahan, ia melontarkan tawa usilnya yang membuat hati dan pipiku menghangat tersipu.

"Georgia."

Mataku terbuka, merespon suara Karl yang terdengar sangat ramah, dan aku bisa membedakan bahwa itu bukanlah bagian dari khayalanku di tengah-tengah terik matahari siang. Aku menolehkan wajahku, Karl ada di sana, di depanku. Ia bahkan mencondongkan tubuhnya agar bisa menatapku dari dekat.

"Hey, kau di sini." Lirihku, tersenyum bahagia. Tak bisa menyembunyikannya. Ini kesempatanku untuk meminta pertolongan padanya. Meminta izin agar ia, dengan senang hati, membolehkanku tinggal bersama yang lainnya di istananya.

Karl berjalan ke samping, mendudukan dirinya di sampingku, persis seperti waktu itu. Di mana ia mencibirku karena aku bahkan tak bisa berjalan lebih jauh lagi. Aku tertawa pelan mengingatnya kembali. Karl menoleh, tersenyum heran melihatku tertawa sendiri. "Apa mulai sekarang aku harus memberimu satu lelucon per harinya? Agar aku tak melihatmu seperti semalam lagi." Karl memandangiku, aku bisa melihatnya melalui sudut mataku.

Aku meliriknya perlahan, aku melihat kesungguhan dalam matanya. Kami bertatapan dengan tenang. Detik ini, rasa gugup dan canggung yang semula selalu kurasakan sebelumnya, yang selalu menggerogotiku dari dalam, perlahan hilang sedikit demi sedikit.
"Terimakasih... aku masih tak ingin membicarakannya, Karl. Tapi aku sangat berterimakasih."

Karl bergerak, mengangkat tangannya menuju puncak kepalaku lalu mengacak-acak rambutku dengan lembut. "Jangan lakukan itu lagi. Aku benar-benar khawatir." Karl mendesah pelan di ujung kalimatnya, membuang napasnya yang berat.

Aku terkekeh pelan melihatnya membuang napasnya seraya menundukkan kepalanya. Apa yang ia maksud dengan semua itu? Apa itu hanya sekedar perhatian yang akan diberikan antar teman? Ini sebenarnya membuatku gila untuk memikirkannya. "Ku harap aku bisa."

"Kau harus bisa. Tinggalah di sini, kau boleh memakai kamar tidur di samping kamarku." Karl menolehkan wajahnya ke arahku sembari memainkan sebuah daun kering. Memotongnya menjadi bagian-bagian kecil dengan jemarinya.

Tepat seperti apa yang aku rencanakan, Karl. Aku baru saja akan mencari celah untuk memasuki pembicaraan mengenai hal itu. "Karl, aku baru saja akan meminta izinmu mengenai hal itu." Ucapku seraya tertawa kecil.

Karl tersenyum lebar saat mendengarku mengatakan itu. "Baguslah!" ucapnya penuh perhatian.

Kami tertawa bersama sembari bertatapan. Ku harap aku bisa tinggal di kamarnya saja. Terlelap di atas tempat tidur yang sama. Memakai kemeja besarnya, membalut tubuh kami dengan satu selimut hangat yang sama. Terbangun di atas bantalan tangannya dengan satu tangannya yang melingkar memeluk pinggangku.

Aku memejamkan mataku sekejap, menepis imajinasiku yang mulai tak punya malu. Aku berkata, "Oh, dan terimakasih atas bantuanmu tadi pagi. Serbet dan darah, ku pikir Anna gagal membuat selai stroberinya."

Ia tertawa kecil, kembali mengacak-acak rambutku. Kemudian ia mengangguk dan mengerjapkan matanya pelan. Bagaimana jika setiap hari aku melihatnya mengerjapkan matanya dengan perlahan seperti apa yang baru saja ia lakukan di depanku? Entah bagaimana pun caranya, itu memberiku ketenangan.

"Aku pernah kehilangan gigiku, terjatuh dari sepeda lalu membentur lantai dan membuat kaus kuningku menjadi lebih bagus dengan motif yang terbentuk dengan tetesan darah dari mulutku." Kenang Karl seraya memandangi ranting pohon dan dedaunan yang terbawa semilir angin.

"Papa sangat khawatir dan kaget, ia menggendongku ke dalam rumah dengan menutup matanya menggunakan salah satu tangannya. Papa mencebik, memperingatiku untuk tidak memakai lagi kaus atau pakaian apa pun dengan warna kuning."

"Mr. Keith tak suka warna kuning." Aku memotong ucapannya dan ia mengangguk setuju sembari tertawa terbahak-bahak.

"Ya, kau benar. Itu sangat menyenangkan kau tahu. Mama tertawa terbahak-bahak melihat Papa yang ketakutan sekaligus khawatir melihatku berdarah-darah. Juga tertawa karena Papa sibuk mengoceh tentang warna kuning!" aku tertawa melihatnya tertawa bahagia mengenang masa kecilnya. Aku bahkan sedikit iri padanya. Ia memiliki orang-orang yang mengkhawatirkannya.

Tapi aku tak takut lagi semenjak Karl berkata bahwa ia khawatir tentangku.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang