Mutterseelenallein -5-

999 73 6
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

Rasanya pertemuan ini percuma, sia-sia. Aku akhirnya merasakan, bagaimana Mutterseelenallein menyerangku dengan ganas. Di antara keramaian ini, aku merasakan kesepian yang terlampau kejam. Aku merasa, semua orang meninggalkanku. Hatiku menciut. Limun dingin yang berdiri di atas meja, menghadapku, memang terlihat menyegarkan. Namun lagi-lagi mereka tak berguna untukku, aku masih merasakan sensasi hangat menyebar di setiap jengkal kulitku, memanas.

Karl, memainkan bulu-bulu Kurt yang putih bersih dengan penuh semangat dan... kerinduan rupanya. Kurt terus saja bermanja ria pada tuannya itu.

Kami duduk di antara meja dan kursi yang sudah ditinggalkan para penikmat kopinya. Karl menidurkan Kurt di pangkuannya ---mereka berada di sampingku. Charles dan Ethan memutuskan untuk pulang lebih awal. Karl meminta izin pada Charles untuk mengantarku pulang ke apartemen. Aku tak bisa berkata apapun, hanya terdiam dan termangu ketika mendengar Charles menyetujuinya.

Karl dan aku sama sekali tak membocorkan masa lalu kami di depan Charles dan Ethan. Karl hanya beralasan, bahwa kami mengambil jalur yang sama untuk pulang. Masih di kafe yang sama, satu album soft jazz diputar sampai membuatku terkantuk-kantuk. Karl belum membuka mulutnya semenjak Charles dan Ethan pergi. Kekosongan yang hadir menemani kami, mengajakku bertualang ke dalam masa lalu.

Apa yang seharusnya kulakukan saat ini?

Aku bahkan tak bisa menolaknya. Aroma tubuhnya yang sudah sejak lama hilang itu, detik ini memenuhi rongga dadaku yang terus menerus berdesir lirih. Otot-ototku terasa kaku dan bahkan aku tak mampu menolehkan kepalaku sendiri, menatapnya---menatap ke dalam matanya, menelisik sebuah teka-teki yang ia berikan sejak kami berjabatan tangan. Karl terlihat semakin matang dan dewasa. Rambut hitamnya sedikit memanjang dan entah kenapa itu membuatnya semakin menarik. Aku melirikkan pandanganku pada salah satu tangannya, di mana ia menyimpannya di atas meja di dekat gelas limunku. Ketika asap rokoknya mulai menipis, ia menarik sebuah asbak lalu memadamkannya. Tangan itu... pernah mendekapku erat. Tangan itu yang membuatku merasa aman dari getirnya dunia.

Lantas apa yang membuat ingatanku sangat kental sekali? Tak bisakah semua kenangan itu pergi meskipun aku sudah membakar mereka saat itu?

"Bagaimana kabarmu?"

Karl membuka suaranya. Jantungku berdenyut untuk beberapa detik, terasa sakit memang. Aku sedikit bergerak, membenahi posisi dudukku. Dan rupanya ia meniruku, ia membenarkan posisinya sampai bisa menghadap ke arahku. Walau itu hanya sedikit saja, kurasakan meskipun sedikit saja pergerakannya, itu berhasil membuat sekujur tubuhku terbakar. Mendengar ia mengucapkannya, membuatnya terdengar seperti orang asing.

"Aku... baik." Lirihku.

Karl terkekeh pelan. Sembari mengusap-usap tubuh Kurt, kami saling bertukar tatapan. Karl menatapku seakan ia tahu semua yang kupikirkan. Di mana ia menebaknya, jawabannya pasti akan akurat. Ia kembali bertanya tentang bagaimana aku bertemu Charles dan Ethan. Mau tak mau aku menceritakannya dalam garis besar. Setelah tiga tahun bekerja di sebuah art shop, aku bertemu seorang seniman tua yang kerasa kepala. Didampingi cucunya, ia mendesakku untuk menemukan lukisan landscape kecil dari seorang maestro wanita bernama Barbara Buskirk. Keesokan harinya, mereka kembali. Charles meminta maaf padaku atas kecerobohannya sendiri. Nama seniman wanita tersebut bukanlah Barbara tetapi Brigitte Buskirk, tepat seperti apa yang aku ucapkan padanya. Semenjak itu, ia memintaku untuk bekerja bersamanya, bersama Ethan. Tawaran mereka didasari atas ketajaman ingatanku, mereka bilang.

"Charles memang seperti itu." Ucap Karl seakan setuju akan ceritaku.

Lalu perbincangan kami bersambung pada kisah Karl ketika ia masih menjadi murid Charles. Beberapa tingkah konyol sekaligus mengundang emosi dari Charles ia beberkan. Setidaknya, pengalamannya tak jauh beda dengan pengalamanku menghadapi Charles. Bagaimana keras kepalanya, senda guraunya, sifat skeptisnya, dan semacamnya. Ceritanya mengundang tawaku, meskipun itu adalah tawa yang singkat dan terkesan malu-malu, aku masih merasakan kecanggungan yang hebat. Bahkan, bisa kukatakan, apa yang kulakukan bukanlah tertawa, hanya terkekeh. Malu-malu. Canggung.

"Baiklah, ku rasa ini sudah terlalu larut untuk membicarakan Charles." Ucapku seraya menepuk pipi Kurt pelan, membangunkannya.

"Tentu, biar ku bantu," Karl mencoba membangunkan Kurt dengan perlahan. Aku berdiri dan merapikan pakaianku.

.
.
.

"Terimakasih... Karl."

Karl mengangguk sembari memberikan senyuman tipisnya. Georgia sudah sampai di halaman depan apartemennya. Georgia menatap Karl untuk terakhir kalinya sebelum ia dan Kurt masuk. Tak ada senyuman yang berarti dari Georgia. Ia hanya diam dan menatapi ke dalam mata gelap Karl. Karl berbalik, ia memutuskan untuk pergi secepatnya. Namun baru saja Karl mengambil beberapa langkah menjauh, Georgia memanggil namanya.

"Karl," panggil Georgia. Karl pun kembali memutar tubuhnya. "Kenapa aku sampai melihatmu lagi?"

Karl tersenyum kecil. Dadanya terasa berdesir. "Kau tak menerima pertemuan pertemuan ini?" Karl mengembuskan napasnya yang terdengar sesak dan berat. Seolah mereka sebentar lagi akan meledakkan dadanya.

"Apa aku perlu pergi... lagi?" sambung Georgia. Karl pun berdecak pelan seraya memalingkan muka. Kemudian ia mengayunkan langkahnya ke arah Georgia yang matanya mulai terlihat berkaca-kaca oleh kabut bening yang kian menebal.

"Kenapa kau hadir lagi di kehidupanku? Aku... hanya perlu kau menjawabnya." Lirih Georgia.

"Apa kau sedang menyalahkanku atas semua ini, Georgia? Kau tahu, aku sangat bahagia bisa menemukanmu lagi. Selama enam tahun... kita saling berjauhan, aku ingin kau menerima apa yang terjadi pada kita. Betapa aku ingin mendengarmu menceritakan semua kehidupanmu... selama kau meninggalkanku."

"Tunggu, aku meninggalkanmu?" Georgia menautkan kedua alisnya tajam. "Kau yang membuatku pergi, Karl."

Georgia menangis, ia tak kuasa menahannya lagi. Pertahanannya hancur lebur. Georgia menggeleng seraya menggigit bibirnya dengan tangis yang kian pedih. "Kau yang membuatku pergi, Karl."

"Tapi kau yang memintanya Georgia." Sahut Karl.

Georgia mengusap airmatanya kasar. "Cukup... aku sadar bahwa aku ---kita tak berhak membicarakan ini. Pergi saja, Karl. Ku mohon."

Georgia, kau tak tahu bahwa aku sangat ingin merengkuhmu dan membawamu ke pelukanku. Aku bisa gila kalau saja aku tak melakukannya. Aku ingin kau menangis di dalam dekapanku, menangis bersamaku. Menangisi waktu yang sudah lalu tanpa kita jalani bersama. Batin Karl yang masih berdiri mematung memandangi Georgia yang mulai melenggang pergi meninggalkannya seorang diri. Georgia menangis di sepanjang langkahnya. Kurt dengan ekornya yang bergoyang ke kiri dan ke kanan, mendongak, menatapi Georgia.

"Aku merindukanmu." Bisik Karl lirih pada udara. Ia mengangkat jemarinya, menyimpannya di bawah matanya lalu menghapus airmata yang mengalir dengan tiba-tiba. "Kembali, Georgia..."

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang