Burn Your Bridges -4-

852 64 7
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

Curhat sebentar boleh yaaa,

Jadi gini loh, waktu tanggal 9 Mei lalu, aku ikutan seleksi bersama (sbmptn) dan kemarin itu adalah hari di mana hasil akhirnya diumumkan.

Dan...

Alhamdulillah, aku dinyatakan lolos untuk masuk fakultas seni rupa murni di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI Bandung) *ikut jejak Karl Hartmann*

Terimakasih semuanya ya... Semoga kalian tetap mendukung.

Lots of love,

Keringetnya Karl.

...

"Hari ketiga, Kurt."

Georgia meraih bukunya setelah sebelumnya ia mengacak-acak bulu Kurt dengan lembut yang tertidur di sampingnya. Georgia sengaja membawa kasur kecil Kurt ke studio. Ia khawatir jika Kurt bisa kedinginan di atas lantai yang menurutnya sejuk itu. Georgia menggoyang-goyangkan penanya, berpikir apakah menuliskan kebaikan Karl di malam itu akan membantunya mengurangi sensasi hampa yang sering timbul di hatinya kala keretakan hatinya kembali muncul.

Georgia mengangguk---mengiyakan pertanyaannya sendiri. Ia mulai mengambil pena dan menuliskan kalimat pertamanya.

Seorang gadis bodoh dan menyebalkan menangis di tengah udara malam...

Selanjutnya, Georgia mengurutkan kronologi kisahnya. Senyuman-senyuman kecil dan percaya diri, sesekali timbul di wajahnya. Kadang napasnya tercekat. Kadang juga tulang selangkanya nampak jelas ketika ia menarik udara baru dan kembali seperti semula setelah meniupkan napasnya. Membuatnya terlihat sangat kurus dan kecil.

Bagi Georgia, ia berpikir bahwa ketika ia mendapat semua beban dan cobaan di atas pundaknya, maka semakin kebal dirinya. Lalu, ketika ia semakin kebal dan permasalahan hidupnya datang silih berganti mendorongnya agar semakin kuat, sampai kapankah semuanya akan berakhir? Bagaimana jika tak ada garis akhir dari semuanya? Semuanya tidak akan berakhir? Bagaimana jika Karl saja yang akan menjadi garis finish-nya? Georgia memejamkan matanya, semilir angin menerbangkan rambut-rambut kecilnya. Angin di siang hari mencoba menyebarkan rasa sejuknya. Menerpa kulit dan membuat Georgia menghela napas menikmatinya.

Georgia segera kembali ke catatannya.
Gadis itu memutuskan, setelah ia selesai menuliskan semua detail kisahnya di dalam buku itu, ia akan merobeknya, lalu berlari kepada Steve---meminjam pemantik apinya--- kemudian kepada Andreas untuk meminjam tong kecil yang sudah tak terpakai di samping garasi. Lalu semua kenangan itu akan terbakar, menjadi abu dan ikut bersama angin tadi. Angin yang sama yang telah mencium kulitnya dan memberikan sebuah ketenangan walaupun untuk sekejap.

.
.
.

Untuk mendongak dan mendapati bahwa Karl sama sekali tak lagi di sampingku, rasanya sungguh malas---malas karena aku harus menghapus airmataku dan malas untuk mencari alasan lain selain debu-debu kecil masuk ke mataku. Memalukan dan pasti terdengar bodoh. Ini adalah hari ketiga. Aku tak yakin, bagaimana , aku---detik ini---teringat pada mimpi yang kudapatkan kemarin-kemarin. Sungguh terasa nyata. Sampai aku bisa merasakan hatiku berdesir lirih ketika merasakan sentuhannya. Semua sentuhan lembutnya.

Ketika tangannya ada di dadaku, ketika ia memaguti bibirku dengan cengkeraman tangannya di tubuhku, erat sekali. Lalu detik ini, kala aku mengingat semuanya, rasanya aku tak pernah mau terbangun lagi. Aku tak ingin terbangun, jika bukan karena dinding yang menghajarku itu, aku mungkin sudah mampu terbangun di atas kasurnya, di sampingnya. Telanjang dengan balutan selimut yang sama, yang juga membaluti tubuhnya.

Kemudian, pada akhirnya aku terbangun, lalu menyadari bahwa semuanya hanya akan terjadi di dalam alam mimpi yang tak akan pernah bisa ku raih dengan cara yang sama. Tak akan pernah. Tapi setidaknya, aku ingin tahu kelanjutan mimpiku!

Tak bisa...

Buktinya, aku membuka mataku dengan lebar di sini, saat ini, di dunia ini. Dunia dengan segala kenyataannya. Dunia di mana di belahan bumi Italia, pria yang kupuja bercinta dengan seorang wanita. Menghabiskan masa muda mereka.

Dan aku di sini, bersama Kurt, memunculkan ide untuk kembali mengajukan permohonan undur diri. Aku takut pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Ku pikir, setelah aku membakar semua catatanku kemarin, tekadku semakin bulat. Pergi dari sini, memulai pekerjaan baru. Mungkin pindah dari Arden-Arcade dan mencari teman satu apartemen yang bisa menemaniku agar aku tak menghabiskan hari-hariku dengan mengenaskan---dengan dipenuhi kenangan yang mungkin masih tersisa dari abu-abu kertas yang ku bakar dan perlahan melambaikan tangannya pada angin. Lalu terbang bersama.

Pergi...

Hilang...

Lenyap.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang