Have No Time, Sorry -1-

997 79 5
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

Ku buka jendela besar yang langsung berhadapan dengan kolam renang. Karl sedang berada di sana, menyesap rokoknya sembari memandangi kalender kecil di tangannya. Seperti biasa, ia menenggelamkan kakinya di dalam air. Kemeja hitamnya yang besar, hatiku berdesir, dua kancing yang terbuka, mengizinkanku untuk melihat dadanya. Lengan kemeja itu dilipat sampai sikutnya. Kedua tangannya, urat nadi yang menonjol dari tangannya. Sungguh memberi kesan kuat dari seorang lelaki. Aku selalu suka melihat pergelangan tangannya, melihat gelang yang melingkarinya.

Melalui jendela ini, aku memuja ciptaan Tuhan. Seorang pria bernama Karl, yang menjadi bagian kecil dari kehidupanku yang masih terbilang cukup muda. Aku berpikir dan berpikir, memuja Karl di setiap langkahku. Aku berpikir dan berpikir, mempertanyakan apa yang ia rasakan terhadapku.

Seiring aku berjalan menghampirinya, aku mengusap lembut kertas yang ku pegang. Kertas yang berisi potret wajah Karl yang ku buat kemarin, dengan konyol, amatir dan menyedihkan. Aku tidak menciptakan karya seideal yang Karl lakukan. "Karl, aku ingin kau melihatnya. Aku sudah memperbaikinya sesering mungkin." Kekehku pelan.

Aku berbicara dengan lirih pada Karl yang mulai menyalakan rokok keduanya. Kutenggelamkan sepasang kaki milikku ke dalam air, seperti yang Karl lakukan. Karl berdengung pelan dan agak lama, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Aku ragu jika ia punya waktu untuk hal ini. Ia masih berpikir sembari melihat kertasku, bagian belakang kertasku yang ku pegang di depan dadaku dengan tangan yang menyilang.

"Georgia, apa kau bisa memberiku waktu untuk berpikir?"

Tentu, Karl. Tentu saja. Tapi, apa boleh aku tahu apa yang hendak kau pikirkan? Sebuah hal kecil atau hal besar, sebuah kabar baik atau buruk, kemungkinan yang bagus atau buruk, aku akan mendengarkannya dengan baik. Katakan saja, aku ingin tahu apa yang ada di pikiranmu, aku ingin tahu semuanya. Aku ingin mendobrak pintu menuju dirimu, menghilangkan batas-batas yang masih membedakan kita. Aku ingin menjadi bagian dari dirimu.

"Y-ya, t-tentu. Mungkin aku akan menemuimu di studio?"

"Ya, ide bagus." Lirih Karl tanpa menatap ke dalam mataku. Apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya berharap bahwa itu adalah hal besar yang akan membuat hidupnya lebih baik. Kerutan di wajahnya, aku bisa menyimpulkan bahwa itu adalah sesuatu yang sangat serius.

Aku belum mampu beranjak dari meninggalkannya, aku tak mau. Bolehkah aku berdiam diri saja di sampingmu dan melihatmu hanyut dalam lamunanmu sendiri? Setidaknya aku ingin menemanimu di saat-saat seperti itu. Aku takut, dengan menyendirinya dirimu, aku takut jika kau tidak punya pundak untuk bersandar. Tidak memiliki seseorang untuk menumpahkan perasaan dan emosimu. Jika ya, aku ada di sini Karl. Aku menunggumu mengatakannya.

"Dengar, aku akan pergi ke Sacramento. Selama satu minggu ini, aku akan benar-benar sibuk di sana." Karl berbicara dengan sedikit kebingungan dan rasa gugup yang bisa ku tangkap dari nada bicaranya dan aku menangkap kesedihan dari matanya yang sedikit berkabut.

"Baiklah?"

"Ya, itu saja. Simpanlah gambarmu di studioku, aku akan melihatnya satu minggu lagi. Jika kau mau, perbaiki gambarnya sampai kau merasa kesal."

Aku tertawa pelan, sampai aku merasa kesal? Apa yang kau maksud, Karl?

"Baiklah, aku pergi," ucapku pelan sembari beranjak dari kolam. Aku menepuk pundaknya pelan, meskipun aku benar-benar gugup untuk melakukannya. Tapi ku harap itu bisa memberinya sesuatu, agar ia tahu bahwa ia tidaklah sendirian.

Karl mendongakkan kepalanya menatapku dalam diam. Seulas senyuman tipis mengembang di pipi kanannya. Aku membalas senyumnya dengan kegugupan yang mungkin saja membuatku terlihat seperti anak kecil yang tengah menahan rasa gugupnya di tengah-tengah panggung.

.
.
.

Sacramento, CA.

"Kau benar-benar akan menikahinya?"

"Kyle, ku mohon, aku tak mau berdebat lagi dengan pemikiranmu yang rumit." Karl terdengar cukup memelas.

Kyle tertawa sumbang sambil bertepuk tangan. "Ow... seorang pria pemaaf sedang berbicara pada adiknya!"

Semua orang menggelengkan kepalanya, sementara beberapa hanya bisa menunduk sedih dan bingung apa yang harus dilakukan.

"Kyle, itu adalah sebuah kesalahan di mana semua orang pernah terpikir untuk melakukannya dan akhirnya mereka hanya keliru untuk melakukannya!"

Kyle berdecak pelan, "Kau tak ingat bagaimana sakitnya dirimu saat itu, Karl?"

"Tidak ada riwayat demensia di keluarga kita, kan?" Karl menimpali dengan cepat.

"Oh ya, tentu saja! Kalau begitu, seorang pria sejati akan menua tanpa kekasihnya yang egois, bagaimana dengan itu?"

Karl merengut kesal, namun gurat kesedihan sungguh jelas di wajahnya. Alisnya bertautan, rahangnya mengeras dan tangannya mengepal. Menahan agar emosinya tak meledak dan malah akan meninggalkan masalah dalam masalah.

"Apa kau tak pernah berpikir dan berusaha menyadari bahwa kehadiran seseorang yang baru padamu, adalah sebuah pertanda yang akan membuat hidupmu lebih baik?" tanya Kyle penuh dengan penekanan.

"Kyle, ku mohon padamu, hentikan." Rintih Karl yang akan segera mengucurkan airmatanya.

"Kyle, Sayang, sudahlah... kembali ke kamarmu." Elsa mencoba menengahi perselisihan di antara kedua puteranya.

Kyle tertawa sumbang, ia menganggukkan kepalanya sembari menyeringai dingin, "Ya, aku hanya harus kembali ke kamarku dan bermain video game seharian seperti anak kecil pemalas yang selalu membangkang perintah orangtuanya." Kyle membantingkan kursi kayu di dekatnya dengan sepenuh tenaganya. Rahangnya mengetat menahan emosi yang meluap-luap. "Dan berikan aku beberapa permen dan cokelat! Aku janji takkan mencampuri urusan orang dewasa!" geram Kyle seiring ia berjalan meninggalkan ruangan.

"Adikku mengerikan." Karl membuang wajahnya dengan kesal, bahkan ia meninju lengan sofa yang berada di sampingnya dengan sangat keras. Karl bisa saja meninju Kyle dan menumbangkannya. Tapi itu sama sekali tak jantan dan hanya akan membuat masalah membengkak. Dan apalah alasan Karl untuk meninju adiknya? Ini sama sekali bukan kesalahannya.

"Jangan pikirkan itu, Nak. Ini sudah sangat dekat dan kau sudah sangat yakin bukan?" tanya Keith pada puteranya mencoba meyakinkan.

Karl memijat pelipisnya seraya meneteskan airmatanya. Karl bergeming dalam rintih tangisnya. Ia menangis lirih, suara kepedihan keluar dari tenggorokannya. Elsa menghampirinya dengan langkah yang perlahan dan gontai. "Karl Walker." Elsa meraih tubuh Karl yang jangkung, memeluknya dan mengusap-usap punggung Karl dengan lembut. Dalam dekapan Elsa, Karl menangis menumpahkan semua emosinya.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang