Restlessness -7-

844 72 6
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

Besok adalah hari di mana duniaku akan runtuh lalu hancur. Besok adalah hari di mana dua orang akan saling mengucapkan janji suci dan aku bahkan tak akan mampu menuturkan satu kalimat pun---apalagi ucapan selamat, selamat menempuh hidup baru yang akan segera terdengar cukup sering---mungkin akan membuat telingaku sakit. Tidak, tidak. Hatiku.

Apa yang kupikirkan sekarang adalah, bagaimana cara untuk menghindari acara tersebut---mencari alasan untuk ketidak-hadiranku esok hari. Aku hanya ingin pergi ke danau, menikmati limun yang Anna buatkan sembari merebahkan diri di atas sabana. Dan hanya perlu memikirkan bahwa---Karl bisa kuibaratkan seperti api. Semua hal yang bersangkutan dengan Karl adalah bentuk lain dari api. Di mana aku menyimpan tanganku di atas api yang menyala di sumbu lilin dengan waktu yang lama, radiasinya akan menyakiti tanganku---membuatnya terluka. Maka dari itu, aku hanya perlu melewatkan tanganku dengan cepat di atasnya, maka semua panasnya sama sekali tak akan terasa---tak akan meninggalkan bekas luka.

Tapi, bagaimana jika kasusnya, aku sudah terlanjur menyakiti tanganku?

Maka semua analogiku itu hanyalah sia-sia. Aku harus berpikir lebih keras lagi untuk mendapatkan pengibaratan yang benar-benar bisa kuhubungkan dengan kondisiku---di mana mereka, kuharapkan bisa memotivasi diriku sendiri. Tapi untuk berpikir dengan tajam, aku tak bisa melakukannya di tengah-tengah hari berkumpulnya keluarga. Musik-musik yang diputar di bawah sana, merampas mood-ku untuk berpikir. Entah itu berpikir untuk merangkai tipu daya agar aku bisa menghindari hari esok atau berpikir untuk mendapat analogi yang paling tepat.

Lagu kesukaan Karl yang bertajuk, Tennessee Whiskey: check. Mereka tengah memutarnya dengan volume yang keras.

Gramophone tua yang menganggur: check.

Piringan hitam berjejer rapi: check.

Scotch kesukaan Karl: check.

Strawberry Wine: check.

Rok-rok pendek: check.

Kemeja-kemeja besar bergelombang karena angin: check.

"Kau baik-baik saja?"

Kehadiran Karl membuyarkan lamunanku. Aku kembali pada semua kenyataan---kesadaranku yang penuh terkumpul seketika. Karl memegang gelas minumannya, menatap ke dalam mataku. Aku sama sekali tak ingin menghiraukannya---mengangkat tanganku lalu kutuangkan scotch whiskey ke dalam gelasku. Kutinggalkan Karl yang menyandarkan satu sisi bahunya di balustrade, lalu berjalan menuju halaman luar di dekat dapur.

Marah, kesal, sakit, pedih, pilu, lara, getir, sedu dan duka. Semuanya bercampur sempurna. Seperti gula yang lebih cepat larut dalam air panas. Hatiku---ini memang terasa sangat panas, sensasi kosong dan hampa pun kian terasa. Rasanya aku ingin pergi jauh-jauh dari Karl, dari mereka, dari Arden-Arcade. Aku ingin berlari menyusuri pepohonan tundra, berguling-guling di atas padang hijau, dan berakhir di pantai---memandangi awan putih dengan gurat senja di ufuk barat sebagai akhir dari petualanganku.

Aku ingin tertidur dengan senyuman---secercah kebahagiaan yang tersisa dalam sudut bibirku. Terlelap tanpa mengingat hal apa saja yang telah kulakukan. Terlelap dengan meninggalkan semua beban yang acapkali membuat kepalaku terasa berat. Terlelap dengan wangi wiski yang ku teguk siang ini. Terlelap tanpa ingin tahu bagaimana janji suci mereka akan terucap. Dalam kata lain, aku ingin benar-benar terlelap---tak sadarkan diri, selamanya.

Karena rasanya, aku tak punya lagi urusan di dunia ini. Untuk apa semua ini terjadi padaku, menimpaku? Adakah angin yang bercabang yang bisa menyampaikan alasannya padaku? Bisikkan saja, jika perlu. Bisikkan saja dan aku akan membalasmu dengan teriakan, aku lelah, hentikan semuanya! Tak cukupkah untuk mengirimku ujian hidup? Bisakah awan menyampaikan bahwa aku sudah cukup muak dengan kehidupan ini---sampaikan pada Tuhan.

"Apa ini perlu terjadi?"

Langkah gontai ini menghantarkanku ke pohon linden besar. Di mana aku dan Karl menghabiskan menit-menit kami, memenuhi proses pendalaman karyanya. Di mana ia memintaku berhenti bekerja untuk Mr. Rigsby. Sekarang, apa aku boleh meminta padanya untuk menghentikan semuanya? Lalu... lalu ketika semuanya sudah berhenti, bisakah ia berlari padaku---meraih tubuhku dan memagut bibir ini sampai napas hangatnya terasa begitu dekat dan menyatu dengan napasku, sampai kami bahkan tak tahu napas lembut milik siapa itu. Sampai kami tak tahu mulutnya atau mulutku yang membuat pagutan itu semakin hangat dan hangat lagi.

"Kau mengacuhkanku." Karl menyusulku. Suara paraunya dapat ku dengar begitu dekat dari tengkukku. "Kau mendiamkanku."

Aku melumat bibirku, membasahinya dengan kepala yang mendongak melihat bunga-bunga di pohon linden. "Apa lagi yang harus kita bicarakan? Tak ada, ku rasa." Airmataku menetes.

"Ku rasa banyak. Dan itu menumpuk di bawah salivamu." Tambahnya. Seketika aku menelan ludahku dengan cepat meskipun rasanya tenggorokanku kian membengkak menunggu tangisku meledak.

Aku memutar tubuhku dengan cepat. Pipiku basah---bulir bening itu membanjiri sungai wajahku. Aku menatapnya dengan samar, kabut yang amat tebal membuat sosoknya terlihat samar di pandanganku. Kedua tangannya ia sembunyikan di dalam kedua saku celananya. Aku menjatuhkan gelas wiskiku ke atas rerumputan. Aku bahkan tak bisa mendengar dentingan gelasnya. Seketika, wiski itu memandikan rerumputan. Tanganku terangkat dan mengepal, aku memukul dadanya dengan cukup keras. Semua amarah seolah menyambar dada bidangnya yang berada cukup dekat denganku. Aku memukulinya dengan segala emosi yang kutumpahkan.

"Lalu semuanya akan berubah?" seruku padanya. "Semuanya akan lebih baik, begitu?"

Aku menangis dengan keras, tak peduli jika orang-orang akan mendengar kami. Aku cukup yakin, dengan jarak yang cukup jauh dari rumah, mereka tak akan mendapati kami bertengkar seperti ini.

"Aku berbicara padamu dan semuanya akan membaik, seperti itu?" aku terus memukuli dadanya---ia tak menepis atau mengelak. "Kenapa kau berbicara... seolah kaulah satu-satunya korban, Karl!"

"Maaf." Aku bisa mendengar pria di hadapanku berbisik putus asa. Seketika aku berhenti bergerak, seolah semua ototku tiba-tiba menjadi lemas. Ia mengangkat tangannya, memegang kedua tanganku, mengusapnya. "Hentikan... maafkan aku."

Aku bisa merasakannya---merasakan airmata Karl terjatuh di tanganku. Membasahi kulitku dengan lembut. Rasa dingin dari airmatanya...

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang