Retrouvailles -2-

1.1K 70 2
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

"Karl!"

Georgia membelalakkan matanya---melihat Karl bertelanjang bulat dan berkeliaran di apartemennya membuat Georgia terheran-heran. Georgia tertawa pelan seraya memijat dahinya frustasi. Ya Tuhan, Anna memang benar. Dia takkan pernah berubah, batin Georgia. Karl yang sudah jauh berada di dalam kamar mandi berteriak pada Georgia untuk mengambilkan dirinya sebuah kaus yang mungkin akan pas di tubuhnya.

"Kembalilah dan ambil sendiri, Karl Hartmann!" Georgia kembali mengaduk masakannya. Seraya menggeleng pelan, Georgia bergumam, "Aku sedang membuatkan sarapan, Karl."

Karl yang berhasil mendapatkan kaus yang sudah Georgia siapkan---tersimpan di atas sebuah kursi---berlarian kecil, kembali ke kamar mandi. "Aku ingin limun buatanmu!"

Padahal ia bisa mengenakkan bathrobe daripada bertelanjang seperti itu. Kenapa tak tahu malu sekali, Karl. Batin Georgia. Senyuman bahagia nan tulus menghiasi wajah ayunya.

Georgia mengucap syukurnya, mungkin mulai hari itu, ia akan mendapati Karl tertidur di ceruk lehernya. Lalu lengan Karl yang kuat melingkar di perutnya. Atau bahkan dirinya-lah yang tertidur pulas di atas dada bidang Karl, berdekatan dengan tato matanya. Georgia akan senantiasa mengucap syukur di setiap harinya, karena sekarang ia bisa menghabiskan hari-harinya bersama dengan Karl. Seolah-olah pertemuan ini menjadi sebuah ajang penebusan hasrat yang mereka punya. Hasrat yang bisa saja mereka curahkan pada enam tahun yang lalu. Yang mana, keduanya memilih untuk menguburnya dalam-dalam.

Georgia mendongak, melihat persediaan gulanya masih saja awet. Karl tak perlu memperingatinya lagi perihal gula. Georgia berpikir dengan tak tahu malu, bagaimana bisa seorang pria manis seperti Karl justru tak suka dengan makanan atau pun minuman yang manis. Lebih jauh lagi, Georgia berpikir bahwa ia sendiri manis dan mengapa Karl bisa menyukai jatuh hati padanya. Georgia mengusap wajahnya sendiri seraya tertawa pelan kemudian menggeleng tersipu-sipu.

Beberapa menit berselang, Georgia meraih ponselnya yang berdering di dalam saku celananya. "Charles?"

"..."

"Hm, baik. Aku dan Karl segera ke sana."

"...?"

"M-maksudku, Karl... eh, aku---kami akan berangkat bersama. Maksudku, kami sudah membuat janji untuk bertemu lalu berangkat ber... sama." Georgia memejamkan matanya dengan sebuah gurat kecemasan dan penyesalan yang tergambar di wajahnya.

"..."

"Tak ada, Char! Astaga..." Georgia mengangkat masakannya dan menyajikannya di atas piring dengan setenang mungkin.

"..."

"Baiklah baiklah, sampai jumpa!" Georgia memutuskan sambungan teleponnya kemudian ia mendesah panjang seraya menengadahkan wajahnya ke atas langit-langit.

.
.
.

Karl membuka kedua tangannya, ia berdiri dalam jarak yang agak jauh di mana Georgia berdiri dengan celemeknya. Georgia, wajahnya memerah seperti kepiting rebus, pipinya mengembang menahan tawa. Karl terlihat aneh sekaligus lucu ketika mengenakkan kaus milik Georgia. Tubuh atletisnya sangat tercetak di balik kaus ketat Georgia.

"Kau sering memakai kaus ini?" tanya Karl, alisnya bertautan.

Georgia memutuskan untuk menarik kursi dan mengempaskan bokongnya. Georgia tak tahan lagi, ia tertawa sejadi-jadinya. "Astaga, maafkan aku."

"Georgia?" Karl mengerucutkan bibirnya kesal dengan alis tebal yang menukik tajam. Pria itu berjalan ke arah Georgia. Lalu berdiri tepat di hadapan gadisnya itu. "Aku tak mau kau memakai ini ke luar rumah. Sekarang, jawab aku. Kenapa kau masih menyimpan pakaian seperti ini?"

Gelak tawa Georgia mulai padam perlahan. Karl harus menunggu beberapa saat sampai Georgia benar-benar berhenti menertawakannya. Karl tersenyum kecil ketika melihat Georgia menghapus airmatanya.

"Baiklah... tidak, aku tidak pernah memakainya lagi. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku memakainya." Sahut Georgia.

Karl mengangguk paham. "Sejujurnya, aku suka kaus ini. Andai saja gayanya untuk laki-laki," Karl lekas membuka kausnya. Di hadapan Georgia, ia bertelanjang dada. "Kau keberatan?"

Georgia memutar bolamatanya mengedarkan pandangan seraya menelan ludahnya susah payah. "T-tidak... ayo duduklah, aku sudah menyiapkan sarapan."

Karl menarik kursi dan lekas duduk, saling berhadapan dengan Georgia. Georgia menggaruk keningnya, merasakan sesuatu yang mengganggu di antara mereka. Georgia merasa tak nyaman berada cukup jauh dari Karl. Gadis itu mengembuskan napasnya berat sementara Karl sudah mulai menyantap sarapannya.

"Ada apa? Kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja." Georgia mengangguk kecil.

"Kau baik-baik saja?"

"Karl, kau menanyakannya dua kali sekarang." Ucap Georgia mulai kesal, Karl hanya mampu mengeluarkan kekehan kecil.

Georgia menggeleng seraya menghela napas panjang. Rasanya, ia ingin selalu berada di samping Karl. Seperti yang selalu dilakukannya dahulu---di ruang makan, mereka selalu duduk berdampingan. Georgia mencoba melenyapkan pemikiran anehnya yang membuatnya tak nyaman.

"Siapa itu Kenneth?" celetuk Georgia.

"Ah, ternyata itu yang membuatmu tak nyaman?"

Georgia mendesah pelan seraya mengangkat tangannya ke atas meja lalu memangku wajahnya dengan wajah yang bermuram durja. "Ya, itu yang membuatku tak nyaman."

"Dia putra Irina..."

"Putramu?"

Karl menggeleng. "Tidak, putra Irina."

"Tidak mungkin."

"Georgia, sudah katakan padamu. Aku dan dia sudah berpisah sejak lama sekali, beberapa waktu sesudah kau pergi, semua hal terungkap... jangan khawatir lagi. Aku di sini, denganmu."

Georgia mengusap wajahnya dengan lembut. "Maaf... aku sungguh takut, Karl. Aku takut..."

"Rose..." Karl lekas berdiri kemudian, dengan lembut, ia merengkuh tubuh Georgia. "Aku takkan pergi lagi. Takkan ada yang pergi lagi. Kau harus memaafkan aku untuk semuanya."

"Kau juga harus memaafkanku untuk semuanya, Karl Hartmann." Ucap Georgia lirih. Karl mencondongkan tubuhnya perlahan lalu berdiri dengan kedua lututnya di hadapan Georgia yang terduduk.

Karl menyimpan kedua tangannya di atas paha Georgia. "Aku... benar-benar bersyukur. Kau memberiku semangat yang baru untuk melanjutkan perjalananku. Aku ingin kau selamanya hadir di atas lembar sejarah kehidupanku."

Karl meraih rahang Georgia dengan lembut---ibu jarinya mengusap-usap pipi Georgia dengan manis. Georgia lekas mengaitkan kedua lengannya di pundak Karl mesra. Georgia menggeser wajahnya perlahan untuk menyematkan sebuah ciuman hangat untuk memulai paginya. Asmara bertebaran detik itu juga. Georgia terlihat lebih ekspresif dan bebas dalam mencurahkan kasih sayangnya. Karl dibuat terkekeh dan bahagia olehnya, Georgia menyematkan ciumannya di setiap lekuk wajahnya lalu kembali mengeratkan pelukannya, kemudian melabuhkan kembali kecupan mesranya dan terus seperti itu dalam siklus yang sama sampai akhirnya Georgia berhenti dengan sendirinya.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang