3 - Rachel Harriet

16.9K 1.8K 235
                                    

Hebat.

Bisa-bisanya mereka berdua tidur tepat saat pelajaran kimia berlangsung.

Apalagi Airin yang tidak biasanya tertidur kini tertular kemalasan Damian.

Arash tiba-tiba berlari masuk menerobos kelas layaknya orang gila. "Guru kimia izin dinas!" Pekiknya kegirangan. Seketika seluruh kelas menjadi ricuh; senang saat ada guru yang absen. Apalagi kalau guru mata pelajaran yang paling dibenci: matematika wajib, matematika minat, fisika, biologi, dan kimia.

Padahal aku lumayan menyukai semua pelajaran yang mereka benci, terutama biologi.

Hanya gurunya ... ah, lupakan.

Guru zaman sekarang rata-rata seperti itu.

Statusnya memang seorang guru, tapi mengajar saja tidak bisa.

Guru macam apa itu?

"Rachel," panggil seseorang setengah berbisik. Aku melirik enggan, hanya untuk menemukan Eric mengintip dari ujung mejaku dengan mata memelasnya. "Pinjam tugas kimia."

"Tidak."

"Eehh? Kenapaa?"

Aku memutar kedua bola mataku. "Aku sudah susah payah mengerjakannya dan kau dengan mudah mencontek."

"Tapi aku bisa mengajari materi yang menurutmu sulit. Itupun kalau kau mau," lanjutku sembari membuka novel filsafat pinjaman dari Damian.

Baru beberapa lembar novel itu kubaca, Eric menyodorkanku secarik kertas.

Kalau begitu, temui aku sepulang sekolah. Kau bisa mengajariku di rumahku :3

Aku menatap Eric yang masih mengintip dari balik mejaku. "Kau cukup mengatakannya. Kenapa harus pakai surat segala?"

"Karena Rachel tidak suka diajak bicara saat fokus membaca," jawab Eric blak-blakan.

Benarkah aku seperti itu?

"Haah, baiklah. Sepulang sekolah kita langsung ke rumahmu," tegasku. "Dan, kau boleh pergi?"

"Oh, maaf." Eric tersenyum bodoh. "Terima kasih." Dan dia pun berjalan kembali ke kelasnya.

Oh, aku lupa kalau dia kelas X IPA 2.

Tapi bagaimana bisa dia ada di sini secepat itu?

Ah, masa bodo.

Aku pun kembali membaca novel di tanganku. Sekilas aku melihat Ashton mengintip dari jendela di sebelah Damian.

Anak itu selalu saja menjahili Airin.

Dan itu sebabnya Damian duduk di dekat jendela, bukannya Airin.

Ashton pun sadar kalau aku terus memerhatikan gerak-geriknya. Dia pun langsung berlari menjauh.

Tiba-tiba bola sepak yang anak laki-laki mainkan di depan kelas menyambar wajahku. Seketika semua anak yang asik bicara terdiam. Mereka menunjuk Arash serempak. Arash sendiri malah berdiri dengan songongnya saat aku menatapnya tajam.

Aku berjalan mendekat ke arahnya. Dia mendengus. "Berhenti menatapku dengan tampang sok seram. Kau pikir aku takut padamu?" Ejeknya.

"Tidak," balasku. Lagi, Arash masih dengan tampangnya yang membuatku ingin mengukir wajahnya dengan paku payung.

"Berani sekali kaㅡ"

Dan boom.

Aku berhasil membantingnya ke lantai. Seluruh murid di kelas bersorakㅡentah untukku atau untuk Arash.

"Untuk apa aku takut pada laki-laki brengsek macam kau?" lanjutku dan kembali ke tempat dudukku.

Ini masih sekitar jam 9-an dan siksaan neraka ini semakin menyiksa.

SEPARATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang