"Jadi, kenapa kau telat?" Pertanyaan polos Airin membuatku berhenti mengunyah bekal makan siangku. Aku hanya menggidikkan bahu dan lanjut makan. "Apa ada yang terjadi? Tidak biasanya kau telat. Kalau kau Damian, beda lagi kasusnya."
"Hei, kenapa aku dibawa-bawa?"
"Bukan kau, tapi Damian kelas sebelah."
"Memangnya ada?"
"Tidak."
Aku menghela napas kasar. Akan sulit memisahkan mereka kalau sudah adu mulut begini, kecuali kalau bel masuk berbunyi—lebih efektif lagi kalau ada bom meledak di sebelah mereka.
"Kalian ... Aku bisa menceritakannya, tapi tidak sekarang." Mata Airin berbinar mendengar ucapanku (padahal aku berharap dia tidak mendengarnya). "Kalau begitu kita bicarakan di rumah Damian sepulang sekolah!"
"Kenapa aku lagi—"
"Sudah diam."
Airin pun mengambil buku catatan kecilnya. "Rachel, kapan-kapan menginap di rumahku mau? Akan kuberikan alamatnya."
Ya ampun, ini berlebihan. Jangan sampai kejadian di rumah si kembar Crimson terjadi lagi.
"Aku hanya akan bertamu sebentar, setelah itu aku pulang. Tidak lebih dari itu," tegasku, membuat Airin mengerucutkan bibirnya. "Dan kalian lebih baik makan sebelum bel masuk. Lalu nanti ada ulangan biologi 'kan? Otak kalian tidak bisa berpikir nanti."
"Hm." Dan Airin pun membuka kotak bekalnya. Lagi-lagi roti isi. Lama-lama kasihan juga melihatnya terjebak bersama Damian, si malas tapi pintar—satu dari sekian orang yang beruntung. Aku menghela napas. Aku akan menyesali keputusanku. Lihat saja nanti. "Kurasa aku bisa menginap kapan-kapan."
Airin kembali menoleh ke belakang—sembari menyumpalkan roti ke mulutnya. "Benarkah?"
Aku mengangguk kecil. "Kalau nilai ulangan biologimu tinggi, kurasa aku akan mempertimbangkannya."
Saat itu juga Airin membanting buku paket biologi—yang nyaris setebal novel—ke meja Damian, membuatnya terlonjak bangun karena terkejut.
"Damian! Ajari aku tentang materi plantae dan animalia sekarang juga!"
"KAU NYARIS MEMBUNUHKU KARENA ITU? KAU SUDAH GILA, HAH?"
"Aku sudah nyaris gila karena kesulitan membangunkanmu setiap hari. Setidaknya ajari aku sebagai bentuk rasa terima kasihmu!"
Lagi-lagi mereka ....
Ah, sudahlah.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
"Bagaimana ulangannya?" tanyaku basa-basi. Wajah Airin pucat pasi. Dia jadi mirip mayat.
"Damian hanya mengajariku sedikit tadi." Airin pun menatap Damian sinis. "DAN MATERI YANG DIAJARI DAMIAN TIDAK ADA YANG KELUAR," pekiknya. Ya ampun, tega sekali kau Damian. Sementara Airin mencak-mencak dan mencaci maki Damian, yang bersangkutan tidak merasa berdosa sedikitpun dan malah menguap lebar-lebar.
Jarang-jarang punya kesempatan melihat mayat dan kuda nil bertengkar.
"Ah, kau yang waktu itu!"
Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Gadis—yang kurasa beberapa tahun di bawahku—berambut biru nyentrik yang kutemui di rumah Eric saat aku mengajarinya kemarin. Kulitnya selalu pucat dan matanya ... Dia tidak punya biji mata.
Dan lagi, dia membawa sesuatu di tangannya. Pernah lihat anak kecil membawa bola dengan kedua tangannya? Kira-kira seperti itu posisinya sekarang. Tetapi, bukan bola yang dia bawa.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEPARATED
Fantasy[Sequel SWITCHED] (SLOW UPDATE) Mana yang lebih menyakitkan: Ditinggalkan oleh orang yang kau sayangi tanpa alasan atau tidak bisa mengingat siapa orang yang kau sayangi padahal kau menangisinya tiap malam? . . . DO NOT PLAGIARIZED MY STORY OR I'LL...