"Kita bertemu lagi."
"Kau bisa berkata begitu kalau kau tidak menemuiku lewat mimpi setiap hari," jawabku.
Aletta terkekeh kecil. "Memang benar, sih."
"Ngomong-ngomong, apa kau suka pemandangannya?" Aletta membentangkan kedua tangannya, merasa bangga seakan-akan dia sudah mempersiapkan mimpiku hari ini dengan sangat matang.
Berbeda dengan mimpiku yang biasanya, kali ini aku berada di taman penuh pepohonan rimbun—yang daunnya entah kenapa berwarna biru. Gadis itu duduk di bangku taman dan menggoyangkan kedua kakinya ke depan dan ke belakang.
"Jadi, mau main tanya jawab lagi?" tanya Aletta. Senyumannya merekah, membuatnya terlihat polos seperti anak kecil.
"Kurasa tidak."
"Eh? Kenapa tidak?" Ekspresi di wajah Aletta kembali berubah. "Bukannya kau akhirnya tahu namaku hanya dengan pertanyaan simpel seperti itu?" lanjutnya sembari memiringkan kepalanya.
Hm, lama-lama imut juga dia.
"Entahlah, aku sedang tidak dalam mood untuk tanya jawab," jawabku dan duduk di sebelah Aletta.
Angin pun bertiup, menerpa wajahku. Entah kenapa angin itu terasa sangat nyata. Padahal aku yakin, aku tidak menyalakan kipas sebelum tidur—atau karena aku ketiduran sesampainya aku di kasur?
"Bisakah kau menceritakan sesuatu padaku?" tanyaku.
Aletta menoleh. "Menceritakan apa? Kupikir kau tidak suka mendengarkan ucapanku."
"Seharusnya begitu, tetapi aku lama-lama penasaran tentang diriku yang selalu kau sebut-sebut bukan dari dunia manusia," lanjutku. "Dan juga karena jawaban aneh yang kulontarkan sewaktu tanya jawab terakhir kali."
"Oh, begitu rupanya." Aletta tertawa kecil. "Jadi, aku harus mulai dari mana?"
"Hm, bagaimana kalau laut merah?" Karena aku terus mempertanyakan apakah sebenarnya aku tidak lulus TK, tetapi orangtuaku menyogok guru sehingga akhirnya aku diluluskan atau apakah itu hanya imajinasiku semata. Dan juga, hanya itu yang terus menempel di kepalaku setelah mimpi waktu itu.
"Laut merah yang kau jawab waktu itu sepertinya menjurus ke Pantai Suffolk, tempat Axxel meninggal untuk yang kedua kalinya. Seluruh kulitnya terlepas saat terkena cipratan air laut itu," Aletta mulai menjelaskan sambil bertopang dagu. "Air laut Pantai Suffolk termasuk air keras dan warnanya merah. Katanya, warna merah itu berasal dari darah seseorang yang tak sengaja jatuh ke dalamnya atau karena berenang dan tak mengetahui akibatnya."
Aku bergidik ngeri. Aku bersyukur tidak ada laut seperti itu di sini. "Lalu, siapa Axxel yang kau sebut itu? Memangnya dia punya berapa nyawa?"
"Hm, apa kau pernah didatangi oleh anak kecil yang memakai kimono abu-abu dengan obi—ikat pinggang—biru?"
Otakku kembali mengobrak-abrik memori terpendamku, berusaha mencari sosok anak yang dimaksud Aletta. Aku pun mengangguk. "Aku menemuinya saat di dalam bus sekolah. Dia meminta permenku."
"Dia Axxel, pecahan kesembilan Foxxy dan memiliki ingatan siluman rubah itu. Axxel meninggal karena tenggelam, terciprat air pantai Suffolk, dan kehabisan darah. Dia bisa hidup kembali berkat Kyla yang bersedia mengorbankan sembilan nyawanya untuk menyelamatkan Axxel."
Tiba-tiba sesosok wanita dengan kimono putih muncul. Kimononya yang hanya selapis memperlihatkan tubuhnya yang tidak beda jauh dari tubuh model majalah porno yang pernah tak sengaja kulihat mencuat keluar dari tas teman sekelasku. Dan juga, kepalanya dilengkapi dengan telinga rubah, sementara ekornya bergoyang-goyang lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPARATED
Fantasy[Sequel SWITCHED] (SLOW UPDATE) Mana yang lebih menyakitkan: Ditinggalkan oleh orang yang kau sayangi tanpa alasan atau tidak bisa mengingat siapa orang yang kau sayangi padahal kau menangisinya tiap malam? . . . DO NOT PLAGIARIZED MY STORY OR I'LL...