44 - Harlert Crimson

9.5K 1.2K 44
                                    

"Jadi, bagaimana kondisi Dhemiel?" tanya Aletta setelah amarahnya mereda.

"Dia kehilangan banyak darah," jawab Rachel singkat, kemudian memijit pelipisnya.

"Begitu pula dengan Arash," Eric menambahkan.

Secercah ingatan tiba-tiba muncul di kepalaku.

"Hei," panggilku, "ada yang ingin kubicarakan."

"Apa?"

"Damian kecelakaan karena ada di dekat Axxel yang membawa mawar hitam 'kan?

Lalu, kenapa Arash bisa kecelakaan padahal tidak ada mawar hitam di dekatnya?"

Semuanya terdiam, yang dapat terdengar hanyalah desiran angin dan suara sprei yang melambai-lambai ditiup angin.

Xander pun mengangkat tangannya. Dia menunjuk Kyla. "Kau bisa tanyakan padanya," ucapnya, yang terdengar seperti perintah.

Seluruh mata yang ada seketika menatap Kyla. Tangisannya terhenti, wajahnya memucat seakan Xander baru saja menetapkan Kyla sebagai mangsanya. Lilac, yang masih belum tahu benar siapa Kyla, hanya bisa diam mematung di samping Eric.

Langkah kaki Xander membuatnya mendekat ke Kyla yang memucat. Dia menunduk, menatap Kyla yang terduduk lemah. "Kau siluman kucing, bukan?"

"B-begitulah."

"Apa bungamu?"

Hanya dengan satu kalimat itu, Kyla diam tak berkutik. Kepalanya semakin menunduk, kemudian air matanya kembali menetes. Satu tetes. Dua tetes. Tetesan itu semakin banyak sebelum akhirnya isak tangisnya kembali terdengar.

"Ini salahku. Ares kecelakaan karena aku berada di dekatnya," isaknya dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Tangannya sibuk menghapus air mata yang mengalir deras di pipinya.

"Apa... maksudmu?"

Kyla tidak menjawab, dia terus menangis dan menangis, tidak peduli kalau matanya sembab. Airin, yang berada di dekat Kyla, tanpa disuruh langsung memeluk Kyla, menenangkannya. Tangannya mengusap punggung Kyla lembut.

Mereka terlihat begitu dekat. Tapi, entah kenapa aku merasa bahwa mereka seharusnya tidak sedekat itu.

"Jadi, Arash kecelakaan karena berada di dekat Kyla. Apakah dia juga memiliki mawar hitam?" tanya Rachel. Wajah seriusnya menunjukkan bahwa dia tengah berada dalam mode fokus tingkat tinggi dengan kecerdikan dan keakuratan yang tinggi pula.

"Rachel, jangan membuat Kyla merasa terpojok," Eric mulai bersuara. "Biarkan dia tenang terlebih dulu. Setelah itu, dia pasti akan menceritakan semuanya."

Rachel menghela napas kasar. "Iya, iya!" desisnya. Dengan reaksi seperti itu, sudah pasti Rachel penasaran akan kebenaran yang terjadi, tetapi Eric seakan berusaha menghalangi Rachel mencari "obat" untuk mengobati rasa penasarannya.

Ketahuilah, sifat Rachel akan berubah mengerikan bila rasa penasarannya tidak terjawab.

"Jadi, untuk sementara ini, kemana kita akan pergi?" tanya Rachel.

"Rumahku!" Eric dengan semangat menjawab. "Ayo menginap lagiㅡ"

"Tidak, terima kasih," potong Rachel, membuat semangat Eric turun drastis. Rachel pun menoleh pada Ashton. "Aku tidak menyukai ini, tetapi rumah Ashton adalah yang terdekat dari sini."

Ashton, dengan ekspresi yang agak terkejut, menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Kau yakin?"

"Tentu saja. Karena, hei, kita harus mengawasi dua teman kita yang terbaring di ranjang rumah sakit. Identitas asli mereka bisa ketahuan kapan saja kalau berada di sini, dan saat itu terjadi, kita harus menyusul mereka secepat mungkin sebelum hal terburuk terjadi. Terlebih lagi, ingatan mereka sudah kembali, yang artinya mereka adalah kunci kita untuk kembali."

SEPARATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang