"Raquelle?"
Sepasang tangan mengguncang bahuku dengan lembut.
"Raquelle. Hooiii... bangun."
Bahuku kembali diguncang, kali ini sedikit lebih keras. Tak lama kemudian, sesuatu yang dingin menyentuh keningku. Bukan, bukan es. Tangannya... dingin.
Suara derasnya hujan pun perlahan mulai merasuk ke dalam telingaku seiring dengan terkumpulnya kesadaranku. Aku membuka kedua mataku. Ah, pandanganku kabur. Aku mengerjap, berusaha menyesuaikan penglihatanku. Nihil. Aku masih belum bisa melihat dengan jelas. Tetapi aku tahu aku tengah terbaring di atas karpet yang kasar dan tipis, dan ada sesuatu yang mengganjal kepalaku.
Aku masih di perpustakaan 'kah? Ya ampun, jam berapa ini? Sudah berapa lama aku pingsan? Di luar masih hujan, aku tidak bisa pulang.
"Syukurlah kau sudah sadar."
Perlu beberapa detik sebelum aku menyadari pemilik suara tersebut. Mataku pun akhirnya berhasil menangkap sosok yang sejak tadi berusaha membangunkanku.
"Selamat pagi," ucapnya lembut. Meski begitu aku tahu ada sedikit nada sarkastik di kata yang dia lontarkan. Aku mendengus. "Pagi."
"Jadi, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?"
Hades melirik jam tangannya. "Sekitar 3 jam. Sepertinya kau sangat lelah sampai bisa pingsan selama itu."
Mataku membelalak. "Jam berapa sekarang?"
"Jam 5 kurang 10 menit."
"Ya ampun," aku pun bangkit dan membereskan bajuku, "Terima kasih bantalnya. Aku harus pulang sekarang dan mencari tongkatku."
"Oh, maksudmu ini?"
Aku berhenti dan menoleh. Hades memegang sebuah tongkat putih berhias permata, persis dengan yang ada di dalam bayanganku sebelum aku pingsan. "Dari mana kau mendapatkannya?" tanyaku sembari meraih tongkat sihirku.
"Entahlah. Tiba-tiba tongkat itu muncul ketika kau pingsan," jawabnya dan bersandar ke kaki meja.
Aku kembali duduk di atas karpet dan memerhatikan tongkat sihir di tanganku. Tongkat ini terasa sangat familiar meski aku baru melihatnya setelah sekian lama.
"Oh, iya. Hades," panggilku. "Apa yang terjadi dengan fluch yang tadi mencengkram kakiku? Apa kau mengusirnya?"
"Bukan aku, tapi dia," Hades menunjuk ke arah meja di depanku. "Aku hanya meminjamkan pahaku ketika kau pingsan."
"Katanya dia juga punya urusan denganmu."
"Dia?"
Aku menarik kakiku dan bangkit. Tepat di bangku di seberang tempatku berada, seorang anak dengan rambut coklat tengah duduk sembari membaca buku dongeng karya Hans Christian Andersen. Lebih tepatnya dongeng The Ugly Duckling. Anak itu mengintip dari buku yang tengah dia baca.
"Kakak sudah sadar?" tanyanya dan menutup buku di tangannya.
Ah, pantas saja fluch sialan tadi pergi. Dia seorang malaikat.
"Uh... ada perlu apa denganku?"
Anak itu melompat turun dari kursi yang ia duduki dan berjalan ke arahku.
"Aku diminta membawa kakak ke sesuatu tempat."
"Dan kenapa 'orang yang menyuruhmu' memintaku untuk pergi ke 'sesuatu tempat' itu?"
"Apa kakak ingat saat seorang butler membisikkan kata-kata pada kakak? Apa kakak ingat setiap kata yang dia bisikkan?"
Aku terdiam. Sesosok makhluk tinggi ramping dengan senyuman liciknya tiba-tiba terbayang di dalam benakku. Otakku pun kembali memutar kejadian ketika aku dan Syrennia berada di rumah si vampir, Nal. Tepat ketika aku mencurigai Eros sebagai kaki tangan Urisha.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPARATED
Fantasía[Sequel SWITCHED] (SLOW UPDATE) Mana yang lebih menyakitkan: Ditinggalkan oleh orang yang kau sayangi tanpa alasan atau tidak bisa mengingat siapa orang yang kau sayangi padahal kau menangisinya tiap malam? . . . DO NOT PLAGIARIZED MY STORY OR I'LL...