Aku tidak tahu berapa lama aku berdiam diri.
Seingatku, aku tengah membetulkan antena televisi atas permintaan Arash dan tiba-tiba petir menyambar.
Dan berhenti 1 cm tepat di depan mataku.
Aku berkedip, berusaha mengembalikan kesadaranku dan melihat sekitar. Tidak ada tetangga yang sibuk lalu lalang, bahkan kucing sekalipun. Semuanya tampak tenang.
Atau menghilang?
Aku pun bergegas turun ke ruang tamu. Kata Eric, Rachel dan Airin tengah bertamu. Mungkin mereka bisa membuatku melupakan kejadian mengerikan yang nyaris menimpaku.
Tapi, oh, ya ampun. Listrik mati.
Aku melirik jam tanganku.
Pukul 14.05.
Pantas saja listriknya mati.
"Hm, apa Arash sudah menyiapkan makanan?" gumamku dan berusaha mencari jalan ke dapur dengan bermodalkan aroma makanan dan tangan sebagai pengganti mata. "Tch, dapur dimana, sih?"
Tanganku menggapai udara, berusaha mencari panci ataupun penggorengan yang ada makanannya. Sayangnya, aku malah tertusuk pisau.
Dasar Arash, kebiasaan kalau masak tidak pernah dirapikan lagi.
"Hei, darahmu enak juga."
Aku bersumpah itu bukan suara milik kakak-kakakku maupun Rachel dan Airin.
Sepasang mata merah menyala membuatku melompat mundur. "Siapa—"
"Tidak perlu takut begitu," potong makhluk itu. "Aku hanya numpang tidur sebentar di dapur dan kemudian jarimu masuk ke mulutku."
Firasatku mengatakan dia melompat turun dari meja dan berjalan ke arahku. "Hm, cuma perasaanku atau kau memang melakukan sesuatu?" tanyanya.
Ha?
Maksudnya?
Tangan dingin makhluk itu pun menarikku keluar dari dapur dan membawaku ke halaman rumah.
"Nah, begini 'kan enak," gumamnya.
Sekarang tampak jelas wajah makhluk asing itu. Dan yang lebih mengejutkanku, aku mengenalinya.
Orang-orang menyebutnya Lan. Tidak ada yang tahu nama aslinya. Ada yang bilang nama aslinya Milan Venn; ada juga yang bilang namanya Alan Sylvannia; ada yang bilang namanya Ian, bukan Lan. Aku sendiri tidak tahu banyak tentangnya. Yang pasti dia satu sekolah denganku, kelas X IPS 5, dan terkadang aku bertemu dengannya di perpustakaan hanya untuk menanyakan kondisiku.
TAPI ITU TIDAK MENJAWAB KENAPA DIA BISA BERADA DI RUMAHKU.
"Hai, Harlert. Bagaimana hidupmu? Bahagiakah?"
"Masih tersiksa seperti biasa. Terima kasih sudah bertanya."
Hening. Tidak ada yang melanjutkan.
Aku pun beralih melihat sekitar. Biasanya ada banyak gerobak pedagang makanan jam segini. Apa hari ini mereka semua sepakat untuk tidak jualan?
Bisa jadi. Karena Eric pernah tidak sengaja menendang bola sampai salah satu ban gerobak pedagang siomay yang lewat lepas.
Dan aku harus membantunya membayar kerugian pedagang itu.
"Harlert, jam berapa sekarang?" tanya Lan. Aku melirik jam tanganku.
Tunggu dulu.
Lho, kok?
"Jamku sepertinya mati," jawabku singkat.
"Kau yakin jam tanganmu mati?" lanjut Lan. "Bukankah kau yang menghentikan waktu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPARATED
Fantasy[Sequel SWITCHED] (SLOW UPDATE) Mana yang lebih menyakitkan: Ditinggalkan oleh orang yang kau sayangi tanpa alasan atau tidak bisa mengingat siapa orang yang kau sayangi padahal kau menangisinya tiap malam? . . . DO NOT PLAGIARIZED MY STORY OR I'LL...