10 - Rachel Harriet

11.9K 1.5K 94
                                    

"Jadi, mau kemana si Damian?" tanyaku pada Airin saat melihat Damian melesat pergi begitu saja.

Airin menggidikkan bahunya. "Mungkin beli lensa kontak baru," jawabnya sembari menguncir rambutnya. "Memangnya kau tidak melihat Damian memakai kacamata bulatnya saat dia pergi tadi? Biasanya dia pakai kacamata kalau lensa kontaknya habis."

Wow, Damian dengan kacamata bulat?

Aku rela mengorbankan semua novelku hanya untuk mendapatkan foto aibnya.

Airin pun duduk di sebelahku. "Sebenarnya kau mau kemana sampai mengajakku dan Damian segala?" tanyanya.

Aku merogoh tas kecilku dan menunjukkan pesan singkat yang Eric kirim saat hari Jumat.

[Eric Crimson]
Hoiyoi Rachel, hari minggu ke rumahku, yak :3
Wajib dateng ga boleh ngga nanti aku ngambek.

Singkat, padat, jelas tanpa tujuan, dan maksa.

Airin tertawa kecil setelah membaca pesan sekaligus situasi yang terjadi padaku saat ini. "Sekarang aku percaya kalau sifat dan kelakuan Eric memang beda jauh dari Arash," ucapnya sembari berusaha berhenti tertawa.

"Jadi, apa kau mau menolongku?" pintaku. "Anggap saja kau mau menjenguk Arash setelah kejadian voli waktu hari Jumat."

"Aku mau. Tapi bagaimana dengan Damian?"

Oh, iya.

Bocah laknat itu belum kembali.

"Nanti biar kukirim alamat rumah si kembar Crimson. Suruh si Damian langsung ke sana sehabis beli lensa kontak," saranku dan langsung mengerjakannya saat Airin mengangguk setuju.

"Ya sudah, ayo pergi sekarang."

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Tok tok...

"Permi—"

"Racheel!~ Eh, ada Airin juga? Ayo kalian berdua masuk!"

Setidaknya biarkan aku menyelesaikan salamku dulu, bodoh!

Tetap saja Eric menggiringku dan Airin masuk ke ruang tamu. Jujur saja, di mejanya penuh makanan ringan—yang bahan utamanya micin kadaluarsa.

Pantas otaknya miring. Makanannya saja micin semua.

"Maaf membuat kalian menunggu," ucap Eric dan menyajikan sirup dan keripik singkong.

Hm, apa semua gizi yang mereka butuhkan berasal dari micin?

Tch, apa boleh buat.

"Eric, boleh pinjam dapur dan kulkasmu?" tanyaku sembari menggulung lengan bajuku. Eric mengangguk kecil. "Silakan saja. Itu, dapur dan kulkasnya ada di sana."

Aku pun menuju arah yang Eric maksud. Aku pun memakai celemek yang kebetulan tersedia dan membuka kulkas si kembar.

INI DAGING SAMA SAYUR MELIMPAH KOK MALAH MAKAN KERIPIK, SIH?

Sudah cukup. Baru kali ini aku terguncang hanya karena isi kulkas si kembar tiga yang bertampang keren nan pintar—tapi sayang itu semua hanyalah zonk belaka karena mereka berbagi DNA yang sama jadi semuanya punya kegoblokan yang setara.

"Mau apa kau dengan kulkas kami?" desis Arash dari ujung tangga.

Aku tersenyum dengan penuh pemaksaan ke arahnya. "Mau kumasak biar kulkasnya kosong terus kalau sudah jadi kutambahkan sianida dan kujual di Starbucks biar aku bisa masuk berita di televisi kaya Mirna."

SEPARATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang