"Ah, Ashton! Aku sudah menunggumu dari tadi—"
"Berhenti menungguku," desisku pada gadis kecil yang selalu saja menunggu di depan rumahku. Segera saja aku masuk dan membanting pintu. Kalau bisa gadis itu mati terjepit pintu biar tidak ada yang menggangguku lagi.
Suara cipratan air pun menyadarkanku. Aku berlari ke arah vas bening berisi ikan mungil dan mengecek kondisinya.
Ikan di dalam vas kecil ini bukanlah ikan hias yang harganya bisa sampai jutaan. Isi vas ini hanyalah seekor ikan mas yang nyaris dimakan kucing. Mau tahu apa yang lebih buruk? Pemilik kucing itu adalah gadis tadi, Chatleen Lilac Lourra namanya—Lilac singkatnya.
Biar kujelaskan sedikit tentangnya. Lilac adalah bocah 14 tahun yang rumahnya terletak persis di DEPAN rumahku. Tiap hari kerjaannya hanya menungguku pulang di depan pintuku. Kata salah satu temannya, penyebabnya melakukan rutinitas tak berfaedah ini adalah karena dia menyukaiku.
Sekian.
Aku pun kembali fokus ke ikan yang berenang di dalam vas—aku tidak punya akuarium jadi ya, begitu. "Ah, makhluk malang," gumamku dan menabur sedikit makanan ikan ke dalamnya.
"Hm, hm. Kasihan sekali." Aku mengernyitkan alisku dan. melirik ke asal suara. "Hai."
"Tch, kau lagi," aku mendecih kesal melihat sesosok yang tak henti-hentinya mengunjungi rumahku—datang tak diundang lebih tepatnya. Dia dengan seenaknya membuka toples berisi kue-kue kering dan memakannya.
"Bisakah kau berhenti muncul di rumahku?" Tetapi anak itu tidak menghiraukan peringatanku.
"Aku suka di sini," jawabnya. "Makanannya banyak, rumahnya nyaman, dan ada kakak juga."
Sekali lagi, aku mendecih. "Mana ibumu? Bisa-bisanya anak kecil masuk ke rumah orang yang tidak dia kenal—"
"Aku mengenal kakak," potongnya. Entah cuma perasaanku atau udara di sekitar anak itu mendingin. "Kakak juga mengenalku, tetapi tidak bisa mengingat siapa aku."
"Omong kosong—"
"Aku mengingat semua hal yang kakak tidak ingat; ingatan yang disembunyikan dari otak kakak. Jadi, tolong ingat kembali siapa aku, siapa dirimu, dan siapa musuh yang sebenarnya."
"Aku akan kembali lagi, kak Ashy."
Dan anak itu menghilang begitu saja.
Tunggu sebentar.
Kak Ashy?
Aku seperti pernah mendengar panggilan itu sebelumnya. Tapi, kapan tepatnya?
Tiba-tiba kepalaku berdenyut hebat. Migrainkah? Karena hafalan sejarah? Atau karena kepalaku terkena bola voli yang di-spike Rachel siang tadi?
Aku pun berbaring di sofa dan memejamkan mataku. Semoga saja rasa sakitnya lenyap saat aku bangun nanti.
Itu pun kalau aku bisa bangun lagi.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Guncangan kecil membangkitkanku dari acara mati sejenak yang nikmat. Tak lama, suara anak kecil yang tak pernah ingin kudengar lagi mulai terdengar memanggil-manggil. "Kak! Kak Ashy!"
Anak itu lagi.
"Tch, berhenti menggangguku!" Aku mendorongnya menjauh dariku. Masa bodo dia nyungsep atau kejedot meja.
"Ih! Itu ikan kakak mau dimakan kucing lagi!"
Kali ini, aku mendorong diriku bangkit dan melesat untuk menendang kucing itu menyingkir dari vas. Setelah puas melihat kucing itu lari terbirit-birit, aku mengambil ikanku dan memasukkannya kembali ke dalam vas dengan perlahan. Beruntung ikan itu hanya jatuh ke lantai dan bukannya ke perut si kucing.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEPARATED
Fantasía[Sequel SWITCHED] (SLOW UPDATE) Mana yang lebih menyakitkan: Ditinggalkan oleh orang yang kau sayangi tanpa alasan atau tidak bisa mengingat siapa orang yang kau sayangi padahal kau menangisinya tiap malam? . . . DO NOT PLAGIARIZED MY STORY OR I'LL...