30. Membuka Hati

61 11 0
                                    

Sebelum baca, tekan bintang dipojok dulu yuk! kalo udah, thanks:)

Happy reading!

-

"Mau apa Ka?"

"Bantuin gue cari Mama,"

Tidak. Tidak seharusnya Melda berpikiran konyol seperti itu. Mana mungkin Azka akan menyatakan perasaan padanya. Melda harus membuang jauh-jauh pikiran tidak masuk akal itu. Cowok sedingin dan secuek seperti Azka tidak mungkin akan jatuh cinta, apalagi disaat situasi begini. Belum lagi perasaan Melda yang belum juga ia mengerti.

Melda mengangguk ragu sambil tersenyum untuk menyahut pertanyaan Azka barusan. Tipe orang seperti Azka seharusnya memang didekati kemudian membantunya untuk bangun. Bukan hanya dengan kata-kata menyalahkan yang tambah membuatnya benar-benar sendiri didunia ini. Bahkan bisa menganggu jiwanya kemudian depresi dan bunuh diri. Seperti kebanyakan orang yang mengalami depresi. Sungguh tragis, semoga tidak ada kejadian seperti itu lagi.

Setelah selesai makan, Azka dan Melda duduk santai sambil menonton televisi dan menikmati makanan ringan yang juga Melda beli. Jangan tanyakan, dirumah Azka benar-benar tidak ada makanan sekarang.

Ponsel Azka yang berada dimeja sofa bergetar dan layarnya berkedip-kedip tanda ada pesan masuk. Dilihatnya kemudian manaruh kembali benda tipis itu. Melda yang penasaran langsung bertanya pada cowok itu.

"Biasa, Karin suka ngechat gue. Tapi gak pernah gue bales, males." Sahut Azka dengan ekspresi wajah kurang menyenangkan. Melda tersenyum tipis.

"Nggak suka bukan berarti benci kan Ka? Hargai tiap-tiap orang yang hadir dalam hidup lo. Sesuatu yang lo sia-siain sekarang bisa jadi yang paling lo butuhkan nantinya, nggak ada salahnya kalo lo menghargai," kata Melda menjelaskan. Kalimat Melda barusan membuat Azka benar-benar tertohok. Ia begitu banyak menghiraukan orang-orang disekitarnya yang bahkan sangat peduli dengannya.

Seperti mamanya.

Azka dulu hanyalah anak bandel yang sangat susah dikasih tau. Jaman SD Azka suka keluyuran dulu main layang-layang dilapangan sampai baju merah putihnya terkena noda lumpur, bukan langsung pulang kerumah. Ia juga kadang suka marah saat dibangunkan untuk pergi sekolah. Bahkan sekarang? Ia merindukan itu semua. Ia berharap ditelpon sang mama saat ia belum pulang kerumah padahal sudah jam 12 malam. Ia berharap ada yang membangunkannya dikala pagi untuk pergi sekolah.

Lagi-lagi Azka rindu.

"Ka?" Azka tersadar saat pundaknya disentuh oleh Melda.

Sementara Melda dari tadi memperhatikan cowok didepannya ini tengah melamun. Melda tau  rasanya, ditinggalkan orang  yang sangat penting bagi hidupnya. Itu sangat berat.

"Sori Mel," Melda mengangguk sambil tersenyum tulus.

"Mel.." panggil Azka membuat Melda menoleh dan menatap kedua bola mata itu. Jauh didalamnya tersimpan luka yang tak semua orang bisa melihatnya. Mata itu butuh tempat bersandar dan berteduh.

Azka menghela napasnya pelan. "Ajak gue bahagia sampe gue lupa gimana rasanya terluka,"

Melda kaku. Terkunci oleh tatapan dalam yang menghangatkan sampai ke hatinya. Sampai sekarang ia tak pernah menyangka akan dipertemukan dengan cowok dingin, cuek, dan emosian seperti Azka. Namun ia bersyukur bertemu dengan cowok itu, ia bisa lebih menghargai tiap-tiap hari dalam hidupnya. Ia juga senang bisa membantunya. Tapi sepertinya, ada rasa yang sulit Melda jelaskan sampai saat ini. Rasanya, Melda bukan hanya sekedar ingin membantu, tapi... ia peduli.

Gadis ini menarik kedua sudut bibirnya membentuk bulan sabit. "Iya Ka. Pasti,"

Melda merubah posisi duduknya menghadap televisi kembali. Walaupun nyatanya ia tak fokus pada siaran yang disuguhkan oleh chanel tv tersebut. "Udah ah Ka, jangan sedih-sedih lagi. Ayo semangat! Kalo gini gue malah jadi suka sifat lo yang cuek dan marah-marah ke gue," kata Melda jujur.

Tell Me WhyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang