5. Pertandingan Basket

48 4 2
                                    


Waktu terus bergulir menyulam masa. Tak terasa, 6 bulan sudah aku menimba ilmu di Aliyah ini.

Sejak kepergian Inka, aku jadi sebangku dengan Risma. Aku juga menjadi dekat dengan Lulu dan Eva. Kemana-mana kami selalu berempat. Hingga teman-temanku dari kelas IPS selalu berkata, Shana and The Gengs jika kami melewati mereka. Bahkan jika salah satu dari kami tidak ada, orang-orang akan ramai menanyakannya. Aku sangat dekat dengan Risma karena kami mengikuti ekstrakulikuler yang sama sehingga kami semakin lengket saja.

Bahkan tak sedikit yang berkata bahwa aku mirip dengan Risma. Kami sering kali tertukar. Maksudnya orang-orang terkadang memanggil aku Risma atau memanggil Risma dengan namaku. Selain fisik kami mirip, segi sikappun kata mereka mirip. Tapi dalam urusan selera aku dan Risma berbeda.

***

Kamis ini, sekolahku mengadakan acara pertandingan Basket tingkat Provinsi. Sekolah tidak di liburkan, belajar juga tidak efektif. Aku dan teman-temanku menonton acara ini dari koridor kelas atas.

"Kenapa ya di film-film atau di cerita romantis gitu, banyak perempuan yang kecantol sama anak basket? Apa kerennya, sih anak basket? Lihat tuh anak basket disana! Biasa-biasa aja. Enggak ada yang keren. Apalagi yang itu tuh! Udah hitam, kecil kering, rambutnya juga berantakan. Kayak jarang di rapiin. Bener gak?" celotehku asal dengan menunjuk laki-laki yang aku deskripsikan melalui kata.

"Syut. Shana, jangan gitu! Dia kakak kelas kita. Sekarang kamu bilang gitu. Nanti kecantol juga lohh.." ujar Risma tanpa menoleh ke arahku karena dia sibuk swafoto dengan telepon genggamnya.

"Yeee.. Lo selfi enggak ajak-ajak !" teriakku saat aku menoleh Risma.

"Lulu sini! Selfi sama kita!"

"Enggak ah. Kalian aja"

Entah apa alasannya Lulu paling enggan jika di ajak berfoto.
Belum lama aku dan Risma berfoto, tiba-tiba pertandingan Basket berubah menjadi ricuh. Di lapangan sana ada yang bertengkar. Pelatih dan sebagian siswa dari pinggir lapanganpun terjun untuk mengamankan. Tapi tidak untuk seorang siswa yang bernama Alen kakak kelasku yang masuk ekstra Pramuka juga.

Dia benar-benar gila. Dalam keadaan darurat ini, dia masih sempat bercanda. Dia berlari ke tengah lapangan sembari mengacungkan sebuah sapu ijuk ditangannya.

"Woy ! Berantemnya pake ini nih biar seru !"

Parah dan sangat gila. Tapi aku suka dia. Maksudnya dalam artian kagum karena sikapnya yang sangat humoris dan konyol. Ketika pertemuan Ambalan dalam Pramukapun, kak Alen selalu menjadi sorotan. Segalanya dapat ia jadikan sebagai bahan gurauan. Aku tidak heran mengapa kak Alen bisa mendapat jabatan sebagai ketua di ekstra Bina Seni.

Berbeda dengan aku. Saat dewasa nanti, aku ingin menjadi reporter. Dan menurutku, ini merupakan bahan berita yang bagus. Akupun mulai berbicara di depan kamera handphone olehku layaknya seorang reporter.

"Selamat siang pemirsa. Berjumpa lagi dengan saya Shana Aqiba. Di belakang saya terdapat pertandingan Basket yang berujung ricuh. Kejadian ini di latar belakangi oleh perebutan bola basket. Seorang pemain yang bernama Sukro merebut bola dari tangan Marfu. Hingga akhirnya mereka bertengkar. Sampai saat ini, para pelatih beserta kawan-kawannya kewalahan saat mengamankan pertengkaran ini. Manusia memang aneh. Pelatih basket mengajarkan anak-anaknya untuk berlari kesana kemari hanya demi mendapatkan satu bola basket. 'Jika di beri bola satu orang satu, mungkin tak 'kan ada perebutan bola basket lagi dalam suatu pertandingan. Karena mereka sudah punya masing-masing' begitulah sahut Mang Iding, tetangga sebelah yang diakhiri dengan tawa renyah.
Demikian. Berita selanjutnya dapat Anda saksikan dua tahun mendatang. Selamat siang dan sampai jumpa"

"Shan, emang ada yang mau nonton berita kamu?" tanya Lulu diakhiri dengan suara tawanya. Aku tak sadar bahwa sedari tadi ternyata Lulu memperhatikanku.

"Ya ada lah. Hanya orang-orang aneh yang mau melihat berita gue" ucapku yang diakhiri tawa pula.

"Kok berita selanjutnya dua tahun lagi?" tanya Lulu kembali.

"Karena nunggu dulu Pak Haji Rhoma Irama tak bergodeg, ahaha" ucapku asal.

"Kenapa begitu? Ahaha"

"'Kan yang mau dijadiin bahan beritanya godegnya Pak Haji Rhoma, ahaha"

"SUNGGUH TER-LA-LU!! Ahaha" ucapku dengan Lulu yang hampir bersamaan menirukan gaya bicara Pak Haji Rhoma Irama.

Orang-orang melihatiku dengan tatapan aneh. Adapula diantara mereka yang menahan tawa ketika melihatku. Sekali lagi, aku tidak peduli.

"Shana, selfi yuk! Latarnya orang lagi berantem. Pasti bagus.." ajak Risma. Begitulah dia. Risma salah satu manusia yang candu berswafoto sehingga dalam semua kesempatan Risma tak pernah melewatinya kecuali berswafoto. Kami menjuluki Risma dengan Jurig selfi yang artinya hantu selfi.

Kamipun ricuh pula masalah swafoto yang berbeda keinginan dalam berpose. Aku tak peduli dengan orang-orang di sekitarku yang melihati kami dengan pandangan yang tak biasa. Seolah-olah mereka berkata, 'nih anak pada ngapain sih?'
Tapi aku tak peduli. Benar-benar tak peduli. Justru, aku merasa bahagia jika tingkah dan gerak-gerikku ini di perhatikan oleh mereka. Lebih bahagia lagi jika ada yang tertawa melihat ulahku. Rasanya, aku telah berhasil menerbitkan senyum di wajah manusia.

Karena kami terbawa ricuh, akhirnya guru-guru menyuruh kami semua yang berada di luar untuk masuk ke dalam kelas.

***

Dan tentang persahabatanku dengan tiga gadis yang ku sebutkan itu, aku bersyukur kepada Allah karena telah menghadirkan mereka dalam hidupku. Hidupku menjadi lebih berwarna.

Meskipun aku adalah gadis tomboy dengan tampilan baju lengan yang dilipat, menggunakan aksesoris tak biasa, dan kerudung yang seadanya dengan penampilan yang berantakan seperti anak kecil dan jangan lupa bahasaku yang kasar dan nyablak. Tetapi aku bisa dipercaya oleh teman-temanku yang membutuhkan pendengar untuk mencurahkan keluh kesahnya padaku. Ya, tak sedikit teman-temanku yang menjadikan aku teman curhatnya.

Aku gadis perkasa, tapi aku juga berhati rapuh. Hanya saja kerapuhan hatiku aku tutupi dengan sikapku yang always fine and so happiest. Sehingga hati mereka seperti tahu bahwa mereka curhat pada orang yang tepat. Mereka yang berkata demikian. Bahkan aku tahu rahasia mereka karena mereka yang memberitahuku. Jika bisa, terkadang aku memberi saran atau solusi untuk masalah mereka atau pula hanya masukan dan nasihat untuk mereka. Mereka bilang itu sudah cukup membantu mereka.

Karena aku tahu, alasan mereka mengutarakan isi hatinya pada manusia lain adalah untuk mencari ketenangan dan kedamaian. Maka aku berkata seolah aku berada di pihak mereka. Karena mereka butuh seseorang yang mendukungnya, mereka butuh seseorang yang menghargainya. Jika mereka yang salah maka aku luruskan dengan tidak menyakitinya. Dengan demikian, aku kini menjadi tahu sedikit tentang ilmu psikolog. Bahkan aku tahu mana yang berbohong dan mana yang berkata jujur.

Aku tahu aku belum memiliki banyak pengalaman untuk mengarungi dunia yang luas ini. Tapi dengan mereka curhat kepadaku tentang pengalaman pahitnya dalam hal apapun membuat pengetahuan ku tentang dunia dan isinya lebih luas. Aku dapat mengambil pelajaran dari cerita-cerita mereka. Dan pada hakikatnya, Tuhan sedang mengajariku cara hidup melalui mulut-mulut mereka sehingga aku dapat lebih hati-hati untuk menjalankan peranku di bumi ini.



***

Tuan Cokelat [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang