15. Benci

28 4 2
                                    


Rangga Rafiqi.

Kini, aku tau nama lengkapnya. Bahkan aku hafal plat nomor sepeda motornya, aku kenal jaket yang selau ia kenakan, bahkan aku tau tempat tinggalnya. Ia tinggal di kampung sebelahku. Sewaktu aku kecil, Papahku kerap kali mengajakku untuk mengunjungi rumah temannya di daerah itu. Tapi aku tidak ingat apakah sebelumnya aku pernah bertemu pemuda itu atau tidak. Karena hampir semua orang di daerah itu Papahku mengetahuinya.

Bukan hanya itu saja yang aku tau. Aku tau keluarganya meskipun hanya sebagian. Berita demi berita seolah berdatangan di telingaku. Aku sebenarnya tidak terlalu penasaran terhadap kehidupannya. Tapi semesta sepertinya sengaja mengantarkan informasi-informasi itu padaku dari mulut orang-orang yang tidak aku sangka sebelumnya.

Setelah aku tau Kak Cokelat memiliki pacar, entah mengapa jiwaku seolah diselimuti rasa benci yang berkobar terhadap dirinya. Aku tau ia tak salah. Aku yang salah, mengapa aku harus jatuh hati pada seseorang yang sudah menjadi milik orang lain.
Sebisa mungkin aku lenyapkan saja perasaan ini. Jika berpapasan di sekolah, kini aku menghindar. Jika tak sengaja beradu pandang, cepat-cepat kualihkan pandangan. Sebisa mungkin, aku tak ingin lagi berjumpa dengannya.

Tapi Tuhan berkehendak lain dengan apa yang aku hendaki. Tuhan kerap mempertemukan aku dengan Tuan Cokelat itu. Bahkan aku lebih di dekatkan dengannya.
Dimanapun aku berada, sepasang mata jelita itu selalu menemukan keberadaanku.

***

Untuk latihan pramuka minggu ini, kakak kelas meliburkannya dalam rangka persiapan untuk menyambut pensi yang akan diadakan tiga hari yang akan datang.

Setelah sholat Jum'at, aku dan teman-teman sekelas kembali ke sekolah untuk mempersiapkan semua perlengkapan untuk pensi nanti.

Zainal, Muzammil bersama anak laki-laki yang lainnya melukis baligho. Nisa, Laila, Tria, Ulpah, Dewi, Kak Irhas dari kelas 11 IPA 3, dan anak yang lainnya membuat recycle dari barang-barang bekas. Resi, Wina, Salwa, dan yang lainnya menyiapkan properti untuk warta. Rifai, Zahara dan Risma mengatur nada-nada untuk paduan suara.

Sementara aku ?
Seperti biasanya, jika mereka sedang serius-seriusnya mengerjakan sesuatu, aku yang mengganggu mereka. Atau aku mengerjakan sesuatu yang tidak penting. Yang tidak ada kaitannya dengan yang mereka kerjakan.

"Hey, barudak ! Tempo si Shana nanaonan ? Lain mah ngabantuan. "
[Hey, anak-anak ! Lihat si Shana lagi apa ? Bukannya membantu. ]
Teriak Dewi.

Saat itu, aku sedang berfoto dengan properti televisi yang terbuat dari sterofom.
Lalu berganti gaya dengan memegang pot bunga kecil yang terdapat diatas meja guru. Aku bergaya layaknya seorang model yang sedang beraksi dalam pemotretannya.

"Eh, biarin aja. Gue ini !"
Celotehku yang diikuti tawa kecil.

Bukannya membantu, aku, Risma dan Lulu keluar kelas dan menyaksikan anak-anak basket yang sedang berlatih di lapangan.  Meskipun perasaan benci terhadap kak Cokelat masih bersemayam dalam jiwaku, entah bisikan apa yang mencegahku untuk tidak membencinya.

Aku menyaksikan kak Cokelat berlatih basket bersama anak basket lainnya di tepi koridor VIP.

Tanpa aku sadari, Anis pacarnya kak Cokelatpun menyaksikan anak-anak basket pula agak jauh dari sebelah kiriku. Tentu saja aku terkejut bercampur takut menyatu bersama rasa nyeri.
Kulihat dilapangan kak Cokelat fokus pada permainannya tanpa menoleh kearahku atau kearah Anis itu.

Ah, sudahlah...
Untuk apa aku berdebat dengan perasaanku sendiri. Aku tak punya hak untuk berbuat apa-apa.

***

Azan Asharpun dikumandangkan.
Aku menghentikan aktivitasku dan segera menuju ke masjid sekolah untuk memenuhi seruan Azan.
Setelah aku selesai sholat bersama Risma dan Lulu, kami masih tertahan di rumah Alloh ini untuk merapihkan kerudung kami.

Tuan Cokelat [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang