"Shana, kita mau kasih tau kamu. Ini tentang kak Rangga. Tapi sebelumnya, kita minta maaf, ya tidak izin dulu ke kamu", ucap Risma dengan wajah yang ditekuk.
"Kenapa harus dibahas lagi, sih?", tanyaku agak kesal.
Mendengar namanya saja aku rasa, sakit.
"Ini tentang kepastian yang selama ini kamu pertanyakan, Shan..."
"....."
Apa?! Tidak. Aku tidak percaya apa yang diucapkan kak Rangga. Kamu bohong kak Rangga. Aku tau kamu berbohong di depan teman-temanku.
Aku tau aku sakit mendengarnya. Tapi aku lebih sakit jika Lulu, Risma dan Eva mengatakan itu kepada kak Rangga tanpa izin dariku. Ini menyangkut tentang harga diriku sebagai perempuan.
"Aku kecewa sama kalian! Harusnya kalian izin dulu sama aku! Aku yang malu. Kalian enak tinggal ngomong doang. Sementara aku yang menderita karena ulah kalian! Kalian masih belum puas aku sakit-sakitan?!", ucapku dengan nada yang tinggi. Jelas aku marah.
"Justru itu, Shan. Kita, tuh kasian sama kamu. Sejak si Rangga itu pergi, Shana Aqiba kita jadi berubah. Shana sekarang jadi sakit-sakitan, murung. Setau kita, Shana itu gadis ceria. Sekarang dimana Shana ceria kita? Kita gak mau Shana gini terus. Makannya kita ngomong itu ke si Rangga. Dari dulu kamu mau kepastian, kan? Nah, ini kepastiannya, Shan", sahut Risma.
"Iya, Shan. Kamu harusnya berterimakasih sama kita, karena sekarang kamu tau si Rangga itu bukan cowok yang baik. Justru kita itu benci sama si Rangga, udah ngambil kehidupan ceria kamu, Shan. Sebagai sahabat, kita peduli sama kamu", timpal Eva.
"Apa kamu bilang? Kalian peduli? Kalian sahabat yang menjerumuskan! Kalian gak pernah mikir bagaimana nilai aku sekarang sebagai perempuan. Harga diri aku! Kalian mikir gak, sih sampe situ?!"
"Kamu ngomong apa, sih, Shan? Kita, tuh udah bela-belain gak istirahat cuma buat ngomong sama si Rangga", timpal Eva.
Suara bising kami menggema di koridor depan kelas dua belas ini. Bel istirahat telah berbunyi, siswa dan siswi berlalu lalang di koridor ini. Emosiku telah meluap sehingga aku tidak peduli kepada orang-orang yang melihat pertengkaran kami.
"Hey, Shana, bicaranya didalam, yuk. Malu dilihatin orang. Yuk, Risma. Yuk, Eva. Yuk, Lulu. Kita bicarain didalam kelas, ya. Siapa tau kita bisa bantu selesein masalahnya", sahut Nandang yang tiba-tiba muncul dibalik pintu kelas 12 IPA 3–kelas kami–
"Enggak perlu, Dang", ucapku menahan emosi.
"Kalian itu egois. Gini aja, deh. Mendingan, kita gak usah sahabatan lagi. Kita temenan biasa, aja", tegasku.
"Shana! Gara-gara si Rangga, kamu bilang gak usah sahabatan? Kamu tau, Shan? Gara-gara si Rangga juga kita berantem kayak gini. Hiks, hiks... Kamu yang egois, Shan. Ini semua, tuh gara-gara si Rangga! Kamu sadar, Shan. Hampir tiga tahun kita sahabatan. Aku gak mau kita jadi pecah gara-gara satu lelaki, Shan. Hiks, hiks...", lirih Risma sembari menangis.
Aku hanya diam. Kulihat, Lulu juga diam-diam matanya berair. Sebenarnya, aku tak sampai hati mengucapkan kata itu. Namun kurasa ego dan marah sudah menguasai jiwaku.
"Lulu! Kamu ngomong, dong! Jangan diem aja. Kamu, kan yang punya ide ini?", ucap Eva.
Lulu menghampiriku dan berkata dengan pelan sembari menangis,
"Shan, kamu jangan nyalahin Eva sama Risma. Aku yang salah, hiks... Aku yang punya ide ini. Aku gak mau kamu sedih terus, aku gak mau kamu sakit-sakitan. Aku mau mengurangi derita kamu. Karena aku gak mau kehilangan kamu. Kamu berarti buat aku, Shan, hiks, hiks... Aku mau, masalah kamu cepat selesai. Biar kamu bisa kembali lagi menjadi Shana Aqiba yang dulu. Hiks, hiks...""Tapi gak gini juga caranyaaa! Hiks, hiks...", aku tak dapat membendung air mata. Aku menangis sejadi-jadinya.
Orang-orang semakin melihati kami. Sekali lagi. Aku tidak peduli.
"Oke, kamu mau kita gak usah sahabatan lagi. Tapi biarkan aku jadi teman dekat kamu, Shan. Aku, aku butuh kamu, hiks, hiks...", ucap Lulu kembali.
Aku menangis semakin keras sembari menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tubuhku ambruk ke lantai. Aku terduduk dilantai. Lemas. Itu yang kurasa.
Sekonyong-konyong aku berdiri walau dibantu oleh Risma dan Eva. Setelah berdiri, tangisku tiada henti. Risma, Eva dan Lulu mengusap pundakku pelan. Seolah mereka menyalurkan ketenangan padaku.
Aku menyudahi tangis dan memeluk Lulu yang tengah menangis.
"Aku minta maaf. Hiks, hiks...", lirihku yang kembali menangis.
Saat aku berpelukan dengan Lulu, Risma dan Eva juga memelukku.
"Kita, tuh sayang sama kamu, Shan. Hiks...", lirih Risma.
***
Yuhuuu...
Tinggal satu part lagi. Semangat membaca..😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Cokelat [REVISI]
Teen FictionSaya tau..... Dalam kebisuan, ada keinginan untuk Mengungkapkan. Dalam matamu, terdapat Isyarat hati yang Tersembunyi. . . . Dan satu yang harus kamu tau. Manik-manik dalam kehidupan remaja Saya adalah... KAMU