31. Kode

5 2 0
                                    

"Happy birthday, Rismaaa..."

"Oh, hari ini Risma ulang tahun? Kalo gitu selamat ulang tahun, ya Risma. Semoga panjang umur, sehat selalu, bahagia selalu"

Hari ini hari yang spesial bagi sahabatku, Risma. Sebagian teman sekelas mengucapkan selamat ulang tahun untuk Risma. Dan aku? Tentu saja belum.

Tadinya aku akan membuat sebuah kejutan untuk Risma. Namun kejutan untuk Risma berantakan gara-gara satu orang. Tapi tak apa.

"HBD Rismaku, sayang", ucapku sembari memeluk Risma.

"Terimakasih, Shana"

**

Selasa ini, bumi bersahabat denganku. Entah bagaimana awalnya, aku dan sebagian teman sekelasku mengadakan pesta kuaci.

"Kurang, nih kuacinya. Beli lagi, yuk! Pak KM, mau ikut patungan gak?", tanyaku pada Adli yang kini menjabat sebagai Ketua Murid baru di kelas 11 IPA 3.

"Oke. Nih Adli ikutan, ya"

Aku membeli semua kuaci yang berada di kantin. Setelah kuaci kudapatkan, aku menghamburkan semua kuaci dilantai depan kelas kami. Tanpa alas. Aku dan teman-teman duduk melingkari kuaci yang berada ditengah.

"Ayo semuanya ngumpul! ker, ker, ker...!"

"Kamu, Shana! Kayak manggil ayam aja", ucap Risa sembari menyenggol lenganku diikuti dengan tawa renyahnya.

"Emang iya, haha..."

"Guys! Gue foto, ya"

"Ckck. Pengen nyanyi lagu, lihatlah dan bukalah mata hatimu. Melihatnya lemah terluka. Namun semangatnya tak kan pernah—"

"Nandaaaang!!! Diem lo!! Kalo mau ikutan gabung!", teman-teman perempuan cerewet kami akhirnya bersuara.

"Enggak, ah. Gak level gue makan yang gituan!", ucap Nandang.

"Elo, Dang! Makan sama kepala ikan asin aja udah belagu", ledek Ihsan diikuti tawa hebohnya.

"Gue masih mending kepala ikan asin. Lah elo, makan tulang ikan asin. Bekas orang pula, haha...", balas Nandang tidak mau kalah.

"Dasar Upin Ipin!", ucap Rifai.

"Haha...."

"Hei, jangan kenceng-kenceng suaranya. Osis sedang rapat", ucap Laila yang kemudian masuk ke ruangan Osis yang berada disebelah kanan kelas kami–11 IPA 3–

"Lihat si Shana! Mulai kumat jailnya, tuh"

Aku membawa kulit kuaci dan memasukkannya ke dalam sepatu-sepatu di depan ruangan Osis sana.

"Kamu parah, Shan! Itu sepatu punya Osis", ujar Wina.

"Syuutt... Hehe"

Aku tau hal ini tidak benar. Tetapi inilah hobiku. Dan alhasil setelah rapat Osis selesai, semua anak Osis berhamburan keluar dari ruangan. Setelah sadar sepatu mereka terisi kulit kuaci, mereka mengumpat-umpat. Ada yang tertawa, ada pula yang tak peduli dan membersihkan sepatunya. Melihat ekspresi mereka yang bermacam-macam membuat aku ingin tertawa lepas.

**

Bel istirahat berbunyi. Aku, Lulu, Risma dan Eva bergegas ke kantin untuk sekedar membeli makanan ringan. Kami hendak kembali ke kelas. Ketika kami tiba di belokan tangga, anak-anak Osis berhamburan menuruni anak tangga.

Aku terkejut, disana pula ada kak Rangga. Saking girangnya, aku menepuk bahu kanan Laila yang berada disebelahku sembari tersenyum girang.

"Kenapa kamu teh, Shan?", tanya Laila bingung.

Aku tak menjawab. Aku kemudian berlalu meniti tangga satu persatu. Ketika berpapasan dengan kak Rangga, aku menjauh dan kualihkan pandang.

Saat aku sudah tiba di tangga terakhir, aku berbalik dan melihati kak Rangga sesaat. Saat kulihat, kak Rangga menepuk bahu kiri Laila dengan sebuah buku sembari tersenyum dibawah sana.

"Ini lagi kenapa?"

Samar-samar aku mendengar celotehan Laila. Aku hanya tersenyum.

*

"Shan, aku mah heran sama kalian berdua. Apa maksudnya itu? Kamu nepuk bahuku yang kanan, terus kak Rangga nepuk bahuku yang kirinya. Terus senyum-senyum sendiri. Kalian berdua aneh", celoteh Laila sembari menggeleng kepala.

Aku hanya tersenyum girang. Aku tidak mau tau apa yang terjadi. Yang aku tau, hari ini aku bahagia. Terimakasih, Tuhan. Masa mudaku begitu bahagia.

**

Setelah istirahat shalat Zuhur, anak-anak Osis kembali menghadiri rapat yang tertunda.

Aku sengaja tak masuk kedalam kelas. Aku naik keatas pagar tembok dan duduk disana sembari bersenda gurau dengan Risma. Mungkin yang kulakukan itu adalah tebar pesona. Karena ku tau kak Cokelat itu berdiri sedikit jauh dari tempatku.

"Meng, meng, meng, meng, meng...", canda kak Rangga kepada kak Alya sembari menggerakkan sebuah tali didepan wajah kak Alya.

"Ish, si Rangga! Emang aku kucing apa?! Tau, ah!", celoteh kak Alya kemudian berlalu meninggalkan kak Rangga dengan teman-temannya yang lain.

Tuan Cokelat itu, lucu juga.
Aku terkekeh sendiri.

Aku turun dari tembok dan mengadap kelapangan sana. Satu ide muncul dikepalaku begitu saja.
Kode.

"Ehem...", aku berdehem agak keras.

"Ehem, ehem..."

Aku tak percaya. Kak Rangga membalas kodeku.

"Ehem, ehem...", aku kembali berdehem.

"Ehem, ehem, ehem..."

Apa?! Kak Rangga membalasnya lagi.

"Ehem, ehem, aduh, uhuk, uhuk, uhuk..."

Sial!! Aku malah tersedak dan batuk yang tiada henti.

"Eh, ada botol, gak? Air, air. Botol, ada gak botol?", ucap kak Rangga yang ku kira adalah singgungan untukku.

"Botol apaan?", tanya kak Fajri tak faham.

"Botol apa? Kata gue, tuh motor. Balapan motor. MOTORRR!!", ucap kak Rangga yang sedikit melirikku.

"Lo ngomong apaan, sih, Ga?", tanya kak Fajri yang masih belum mengerti.

Ya jelas tak mengertilah. Orang ngomongnya juga sebagai kode. Bathinku sembari terkekeh ditengah batuk kering yang tak dapat berhenti.

Aku berlari kedalam kelas untuk mengambil minum.

Kepastian. Hanya kepastian yang aku perlukan. Jika hanya isyarat, itu hanya akan semakin menumbuhkan harapan pada Tuan Cokelat itu. Aku takut itu hanya harapan yang hampa.

***

Hai hai penggemarnya Rangga-Shana. Terimakasih atas partisipasinya sejauh ini. Silahkan tinggalkan jejak😄

Oya, saya juga buat cerita baru judulnya "Belantara Cinta". Kalian gak bakalan nyesel, deh baca yang itu. Karena kalian bakalan dapet ilmu cara bertahan hidup dihutan, loh. (Karena genrenya petualangan😉)
Yuk, mampir juga❤

Tuan Cokelat [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang