29. Pandangan Itu...

10 1 0
                                    

Pagi tak pernah bosan menyapa bumi pada waktunya. Hatiku juga sudah kutata semalaman dengan berbagai meditasi syar'i yang bernilai ibadah. Begitu sejuknya tatkala bibir ini melantunkan ayat-ayat cinta-Nya sehingga kurasa, di tengah tangisku yang bersedu, aku merasa Tuhan tersenyum padaku.

Sejuk.
Itu yang kurasa.

Ketika bersujud, aku bahkan tak ingin bangun. Karena kurasa, Tuhan mengelus kepalaku hingga harupun bertamu ditandai dengan deraian air mata yang memburu.

Terimakasih, Tuhan. Telah mentakdirkan aku untuk memeluk Agama-Mu yang berisi  ajaran yang begitu menyejukkan.
Aku mencintai-Mu, Wahai Tuhan yang Maha Merajai Seluruh Alam.

Maka kusambut hari dengan penuh suka cita. Namun seperti biasanya. Aku adalah salah satu siswa yang 'langganan' kesiangan.
Senin ini adalah pekan pertama untuk upacara. Semua siswa telah memadati lapangan. Karena tak ingin tertinggal, aku berjalan cepat dan masuk kedalam kerumunan siswa-siswi disana. Aku berenang-renang ditengah orang-orang yang berdesakan untuk mencari barisan teman sekelasku.

Baru saja pagi hari, aku sudah disuguhi pemandangan indah oleh Tuhan.
Ya, Tuan Cokelat juga rupanya datang terlambat. Kakiku yang berjalan cepat itu seketika berhenti karena kak Cokelat ada dihadapanku. Kami saling berhadapan ditengah kerumunan manusia-manusia berseragam putih abu-abu.

Aku memandangnya sesaat dan diapun menatapku tanpa kedip. Tau dia memandangku, rasanya aku ingin menghilang saja dari tempat ini. Sebab maluku mungkin sudah masuk ke level 5. Akupun cepat-cepat pergi dari tempat itu dan berlari menuju barisan teman-teman sekelasku.

***

Hari ini bagai ada yang berbeda di kelasku. Orang baru. Ya. Ada orang baru dikelasku. Rupanya dia adalah murid baru.

"Hai. Namanya siapa?", tanyaku pada gadis baru itu.

"Hai. Namaku Aqilla", ucap gadis mungil itu.

"Aku Shana. Shana Aqiba", ujarku yang diiringi senyum yang mengembang. Kamipun berjabat tangan.

"Hai Shana!"

"Kamu pindahan dari mana, Aqilla?"

"Dari Aliyah di Salopa".

"....."

Perkenalan singkat itu membuahkan keakraban diantara kami.

Oke Aqilla. Welcome to Our Class...

***

Mentari pagi mulai memanas. Inilah yang kulakukan ketika tak ada guru.
Nongkrong di luar kelas.
Kebetulan kelas 11 IPA 3-kelasku- berada dilantai dua. Sehingga aku dapat menikmati pemandangan dibawah sana. Kulihat ke sebelah kiri, gunung berwarna biru yang tertutupi awan menjulang indah disana. Kulihat ke sebelah kanan, pohon rambutan yang berbuah lebat dan matang tertancap disana. Ku alihkan pandangan kelapangan sana. Ternyata ada pemandangan yang lebih indah dari gunung.
Kak Rangga.
Siapa lagi jika bukan dia?

Aku lihat dibawah sana ada anak-anak Paskibra tengah berkumpul. Semua anak duduk, kecuali kak Rangga dan kak Irhas. Mereka disana berdiri tepat sejajar dengan pandanganku. Mereka berdiri memunggungiku.
Rasanya aku tak ingin berpindah dari sini. Ku perhatikan ia lekat-lekat. Entah sadar ada aku atau tidak, kak Rangga sesekali menoleh kebelakang, matanya menancap kearahku. Dia seperti over action setelah menoleh kearahku.

Dan ketika pandangan yang terakhir, dia membalikkan badannya menghadap kearahku dan melihatiku sembari tersenyum. Aku sangat malu. Akupun berlari terbirit-birit dari tempat itu menuju kedepan kelas 11 IPA 4 dan bersembunyi disana.

"Shan, kamu kenapa? Abis dikejar apa?", tanya Hanida yang sedang nongkrong didepan kelasnya.

"Emm.. Gue.. Gak papa".

Setelah cukup lama, aku mengintip dibalik tembok. Takut-takut kak Rangga masih dalam posisinya. Akhirnya aku dapat bernafas lega setelah dia dan kak Irhas duduk bersama anak-anak yang lain.

Sungguh. Pandangan itu... Aku ingin tau. Apa maksudnya? Kenapa dia tak mau bicara? Setidaknya dia yang memulai untuk berkenalan. Atau beri aku sedikit penjelasan karena sikapnya. Jika begini, bisa saja tabung harapanku sudah penuh terhadap kak Rangga.
Oh, Allah. Sungguh Engkaulah sutradara terhebat sehingga akupun tak dapat menebak cerita yang Engkau suratkan untukku.

Kak Rangga kini telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Tanpa aku sadari, dalam diriku berkelibat rasa ingin melindunginya. Bahkan pernah suatu ketika di kantin, aku dengan kak Rangga terbiasa melakukan hal yang tak pernah kami tinggalkan sampai kini.
Curi-curi pandang dari arah yang berlawanan.

Kak Rangga punya pesona yang luar biasa sehingga banyak gadis-gadis yang terpesona olehnya. Sekumpulan gadis yang kuduga adalah adik kelasku  duduk disebelah kursiku di kantin. Ketika kak Rangga keluar kantin dan melewati kami, sekumpulan adik kelas itu menggoda kak Rangga dengan siulan dan teriakan heboh. Namun senangnya, kak Rangga menghiraukan mereka tanpa melirik mereka.

"Ihh, gak peka banget, sih!!", ujar mereka saat kak Rangga berlalu.

Karena kesal, akupun mengikuti kak Rangga keluar kantin. Namun saat melewati mereka, aku menatap tajam gadis-gadis centil itu bahkan aku hampir melototi mereka. Seketika, mereka diam ketakutan melihatku.

Hah !
Aku kini sudah jadi senior. Inilah enaknya jadi senior. Membully adik kelas.
Bukan maksudku membully mereka. Aku hanya memberi mereka pelajaran. Dia Tuan Cokelatku. Tak boleh ada seorangpun gadis yang mencoba menggodanya.

***

Tuan Cokelat [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang