6. Risih

41 4 0
                                    


"Assalamu'alaikum... Kakak pulang !!" teriakku setelah melepas sepatu dan hendak membuka pintu.

Sungguh damainya bumi ini. Mataku terhipnotis saat melihat ciptaan Tuhan yang begitu indah. Mega jingga bercampur merah muda itu tumpah di ufuk barat, desiran angin meniup tubuhku dan jilbabku yang terurai berkibar karenanya. Daun-daunpun ikut serta menari bersama jilbabku.

Setiap senja, keluargaku memiliki jadwal bersama. Yakni berkebun. Halaman rumahku terbilang cukup untuk sekedar menanam tanaman palawija ditambah beberapa tanaman bunga membuat pekarangan lebih segar.

Dalam rutinitas ini, kami membagi-bagi tugas. Aku dan Ziyah menyiram tanaman, Aqfa membersihkan sampah dedaunan. Papah dan Mamah memberi makan ikan yang berada di samping rumah.

***

"Aehh... Aji kemana aja?" teriak Papah.

"Ada aja, Mang" kata Aji.

Saat aku mendengar nama 'Aji' mataku terbelalak. Aku benar-benar terkejut.
Saat aku menoleh ke arah mereka, Aji dan aku bertabrakan mata, dia tersenyum padaku. Tapi aku hanya menunduk.

"Neng Shana nya udah gede ya!"

Aku tak tau kepada siapa Aji berkata.

"Gede apanya?" timpal Papah

"Ya, gede orangnya lah, Mang"

"Berani berapa sama anak gue? Ahaha..."

"Ah, niat aja. Tapi di tungguin kok. Dua tahun lagi ya, Mang?" ujar Aji sembari melihatku.

Kenapa? Apa ini? Aji berucap begitu?
Tidak mungkin! Dia pasti bergurau.

Siapa Aji?
Aku akan kenalkan.
Namanya Aji, dia sahabatku sewaktu kami masih kecil. Aku hanya berbeda dua tahun dengannya. Dulu, aku dengan Aji begitu dekat. Bahkan aku sudah menganggapnya sebagai kakakku.

Tapi, ketika aku akan menginjak usia 10 tahun, aku dengan Aji berpisah kurang lebih enam tahun lamanya karena berbeda pendidikan. Dan sekarang dia baru kembali, dia sudah berani-beraninya melihatku seperti itu. Aku rasa itu adalah pandangan yang liar. Tapi firasat itu ku urungkan. Dari dahulu, Aji sangat senang menggodaku sehingga aku menjadi kesal padanya dan aku mengejarnya untuk ku pukuli. Sekarang aku benar-benar kesal padanya. Aku sadar aku bukan anak kecil seperti dulu lagi. Kini aku merasa canggung terhadapnya. Dan risih saat dia menatapku.

***

"Kak, tadi di jalan, Ziyah ketemu sama Kak Aji. Terus Kak Aji nanya ke Ziyah, katanya 'Dek, Kakaknya ada ?' terus Ziyah jawab ada. Terus Kak Aji bilang gini 'bilang sama Kakaknya salam gitu ya dari Kak Aji'. Gitu, kak" cerita Ziyah panjang lebar saat kami berada di kamar sambil menikmati kue cokelat yang Ziyah beli tadi.

"Kamu bohong 'kan? Anak kecil gak boleh bohong. Dosa loh..." sahutku tak percaya.

"Enggak kok. Ziyah gak bohong. Kalo gak percaya tanya aja sama Kak Ajinya"

"Ih, ogah"

"Ciyeee... Kayaknya kak Aji suka sama Kakak... Aaaa ciyyeee"

"Apaan sih, bocah!! Kamu masih kecil. Gak tau apa-apa. Udah ah.. Keluar dari kamar Kakak sana! Pergi!"

"Kakak gak tau terimakasih! Udah Ziyah bagi kue, malah ngusir. Si Shana galak!"

"Eh, beraninya panggil nama. Pake si lagi! Awas, ya. Kakak bilangin ke Mamah.."

"Bodo. Ziyah gak takut. Wlee"'

"Mamaaaaahhhh!!! Nih Ziyaaah, ngomongnya gak sopan sama kakaaaakkk!!"

Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang Ziyah katakan. Aji benar-benar keterlaluan!

Akhir-akhir inipun, Aji selalu datang setiap senja. Dia tak henti-hentinya memandangku. Kini, aku benar-benar risih. Bahkan aku hampir benci padanya.

Aku tak faham apa yang Aji mau dariku. Akhir-akhir ini kami selalu dipertemukan oleh semesta. Aku tahu aku dengan Aji kini tidak seperti dulu lagi. Mungkin karena tidak ada komunikasi dan jarak yang terpisah membuat aku canggung terhadapnya. Kini, jika kami tak sengaja berpapasan dijalan, kami hanya saling melempar senyum saja. Tidak lebih. Bahkan jika kami tak sengaja berada dalam ruang yang sama, dia tak pernah melewati pertemuan itu kecuali dengan memujiku.

"Shana! Kata Aji kamu cantik" ucap teman Aji saat aku melewati mereka suatu hari.

Bukannya aku bahagia, justru aku semakin risih kepada Aji. Dan lebih risih lagi saat Aji memandangku dengan pandangan yang tak biasa. Bahkan aku selalu berdoa supaya Tuhan menjauhkan Aji dariku.

Beberapa temanku di Karang Taruna menjelaskan bahwa Aji mencintaiku. Kini aku faham. Bersahabat dengan lawan jenis adalah hal yang harus dihindari jika tak ingin terjebak dalam sebuah rasa yang dinamakan cinta.

Dan benar kata Jalaludin Rumi bahwa cinta itu seperti agama, tidak ada paksaan didalamnya. Dan aku sangat enggan dengan sebuah paksaan.

***

"Kak. Akhir-akhir ini, Aji aneh banget pandangannya ke kakak. Dia bilang ke Mamah kalo Aji mau serius sama kamu. Aji juga ngomong ke Mamah. Katanya, dia mau nungguin kakak. Tapi Mamah gak setuju. Awas pokoknya. Mamah gak setuju kamu sama Aji" ujar Mamah saat kami melakukan aktivitas sore kami.

"Apaan sih, Mah. Kakak juga gak suka sama Aji. Amit amit banget. Kakak janji, Kakak gak akan punya pacar selama masih menjabat sebagai pelajar"

"Awas aja kalo ketahuan punya pacar. Langsung Mamah kawinkan!" Ancam Mamah yang diakhiri dengan tawa pelan.

"Apaan nih kawin-kawin?" tanya Papah yang tiba-tiba muncul menghampiri kami.

"Ini nih si Shana......"

Saat Mamah dan Papah sedang asyik begurau, ku putar bola mataku ke sebelah kiri. Ku lihat ada Aji sedang berdiri disana dengan pandangan tertunduk dan tubuh yang layu. Sepertinya Aji menguping pembicaraan aku dengan Mamah.

Sejak pembicaraan dengan Mamah ketika senja itu, Aji tak pernah menampakkan lagi batang hidung nya dihadapanku. Sejak saat itu pula Aji menghilang entah kemana. Ketika aku tak sengaja berpapasan dengan temannyapun, teman-teman Aji memandangku dengan pandangan tidak suka. Lebih tepatnya benci.

Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Aji. Tapi aku mendengar kabar dari temanku yang bertetanggaan dengan Aji bahwa Aji kini merantau ke luar kota.

"Kenapa dia harus merantau ke luar kota? Emangnya di kota ini gak ada pekerjaan, ya?" tanyaku polos pada temanku yang bertetangga dengan Aji itu.

"Kamu mau tau alasannya kenapa?"

Aku hanya mengangguk.

"Semua ini karena kamu, Shana. Kamu gak pernah menghargai perasaannya. Dari dulu kalian 'kan sahabatan. Aji itu berusaha buat deketin kamu, dia berusaha buat memperbaiki persahabatan kalian yang sempat merenggang. Tapi bukannya welcome, kamu malah menghindari Aji terus"

Aku hanya diam saja dan mencoba untuk mencerna ucapan temanku ini yang sama sekali tidak aku fahami.

"Kamu tau gak, Shan? Selama enam tahun kalian pisah, Aji selalu mikirin kamu, Shan. Bahkan ketika Aji pulang, orang pertama yang ingin Aji temuin itu kamu!" ucap perempuan satu tahun lebih tua dariku ini.

"Kok kamu tau semua tentang Aji, sih?" ucapku penasaran.

"Karena, karena aku suka sama Aji. Dia tak pernah mau nerima aku. Karena satu-satunya perempuan yang berarti baginya hanya kamu, Shana! Tapi apa balasan kamu? Kamu nyakiti dia bertubi-tubi, Shana! Kamu itu jahat tau gak!" ucap gadis bernama Thalia ini.

Ketidak pernahan aku dalam urusan cinta membuat aku semakin bingung aku harus apa. Ketidakperanahan aku juga dalam patah hati membuat aku tidak dapat merasakan apa yang Aji rasakan. Seketika, aku pernah berfikir apakah aku akan merasakan apa itu cinta? Apakah aku juga akan merasakan apa itu patah hati? Ya, jatuh cinta itu apa aku tak faham.

Sejak saat itu aku benci cinta. Aku tak suka dengan hal-hal yang berbau cinta. Atas alasan cinta, orang-orang menyalahkanku dan menghindariku bahkan membenciku. Tapi aku tidak peduli. Benar-benar tidak peduli.

***

Tuan Cokelat [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang