29-Ropikul Akmal

1K 62 0
                                    

Selamat membaca!!!
Jangan lupa vote and comment

Hari yang sangat melelahkan. Keringat di balik seragam menjadi sangat kusam. Untung saja, Ekskul Repal memakai pakaian olahraga jadi,  lumayan terbebaslah dari bau apek.

Hari ini adalah waktunya untuk mengikuti Ekskul menantang--Repal--walaupun harus main fisik, tapi gue yakin kok, gue pasti bisa. Justru karena gue penyakitan, harusnya gue rajin olahraga supaya tubuh gue banyak gerak.

Di kelas gue hanya tersisa beberapa orang saja, salah satunya Anjas. Tapi, ada juga beberapa orang yang sedang mengerjakan piket kelas. Yang lainnya sudah pulang ke rumah masing-masing.

"Pril, lo masih bersikukuh buat ikutan Ekskul?" tanya Anjas menyadarkan lamunan gue.

"Iyalah, lo enggak lihat apa? Gue kan pakai baju olahraga," jawab gue.

"Lo mending jangan ikutan, entar gue kasih bakso. Mau enggak?" tanyanya sambil merayu.

"Idih, entar pipi gue tambah bulat lagi," elak gue bergidik ngeri.

"Terus lo maunya apa?" tanyanya lagi.

"Pokoknya gue lagi kepengin yang manis-manis," jawab gue.

"Tatap aja wajah gue, manis banget lho ini," ucapnya dengan senyuman yang dibuat-buat.

"Anjays. Itu sih antonim manis," balas gue merasa jijik.

Anjas bungkam. Kedua matanya melirik mata gue. Sudah satu menit, matanya tak berkedip. Anjas terus menatap gue dengan tatapan yang semakin intens .

"Gue tahu!" teriaknya.

Jantung gue seakan mau lepas saat itu juga. Suaranya besar banget, kayak terompet.

"Pelan sedikit kek suaranya! Kasihan tahu telinga sama jantung gue," ucap gue.

"Iya, maaf," balasnya. "Gue cuma mau ngajak lo makan."

"Gue izin tarik tangan lo, ya?" tanyanya.

"Buat apa?" tanya balik gue.

"Soalnya takut enggak ada waktu, cewek kan jalannya lambat. Jadi, kalau gue tarik bisa sedikit lebih cepat," jawabnya.

"Iya dah, boleh. Asal jangan bikin tangan gue copot," ucap gue mengalah.

"Iya, enggaklah," balasnya.

Anjas menarik tangan gue keluar kelas. Entah apa yang akan dilakukannya. Gue merasa enggak fokus karena, gue sibuk menghitung denyut jantung gue yang berdetak.

Sepertinya ini tidak normal, batin gue.

Tiba-tiba Anjas berhenti, membuatku yang berada di belakangnya, menabrak punggungnya sendiri. Anjas melihat ke arah tangannya yang menggenggam tangan gue. Lalu, melihat wajah gue dengan ekspresi yang membingungkan.

"Sebenarnya, lo sakit?" tanya Anjas.

Gue ingin menjawab tapi, rasanya mulut ini enggan untuk mengeluarkan sebait kata saja, seakan ada yang membungkam.

"Kenapa enggak jawab? Lo pengin pingsan ya? tanyanya bertubi-tubi.

Gue masih tetap bungkam. Rasa dingin pada tangan gue semakin terasa, jantung gue berdetak ekstra lebih cepat. Ditambah lagi melihat wajah Anjas yang penuh dengan ke khawatiran.

"Gue izin cek dahi lo, ya?" tanya Anjas.

Kali ini gue merasa heran. Masa iya cowok se-sengklek Anjas minta izin dulu sebelum melakukan hal-hal yang memang sudah biasa dilakukan.

Sengklek BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang