31-kamar mandi

776 48 3
                                    

Selamat membaca!!!
Jangan lupa vote and comment

Mama menatap gue, tanpa berkedip sedikit pun. Sedangkan gue hanya bisa diam, penuh harap. Mama mengalihkan pandangannya, tatapannya kosong.

"Ma?!" ucap gue sambil menggerak-gerakkan lengannya.

"Iya. Mama enggak bakal kerasukkan, tenang aja," balasnya dengan pandangan yang sama.

"Apaan sih, April enggak bercanda, Ma," ujar gue.

Gue merebahkan diri di atas sofa dengan kepala yang disimpan di atas kedua paha mama.

"Ma ... kalau misalkan Tuhan lebih cepat mengambil April, mama sedih enggak?" tanya gue.

"Siapa sih yang enggak sedih kalau kehilangan anaknya? Mama pasti sedih, terpuruk, atau bahkan enggan untuk melanjutkan hidup," ucapnya.

Gue mendongakkan kepala, tepat pada saat itu air mata dari pipi mama jatuh ke pipi gue. Hati gue terasa sakit, hingga membuat air mata keluar dari kelopak mata gue. Mama memegang tangan gue.

"Ayo bangun!" perintahnya.

Posisi gue sekarang menjadi duduk. Mama langsung memeluk gue, dan gue membalas pelukannya.

"Ma, kita udah kayak teletubis belum, ya?" tanyaku mencairkan suasana.

Mama melepas pelukannya, lalu mencubit kecil lenganku.

"Aw! Sakit, Ma," pekikku.

"Biarin. Suruh siapa bercanda di waktu yang salah, sana masuk kamar," ucapnya ketus.

"Mama juga tadi bercanda," gumam pelan gue. Mama melirik ke arah gue dengan tatapan horrornya.

"Ma ... maafkan April," rengek gue.

"April beneran sayang Mama, enggak bakal bercanda lagi," ucap gue dengan wajah memelas.

"Iya, udah mama maafkan," balas mama pada akhirnya.

"Yeay! Berarti mama izinkan April untuk pergi ke puncak 'kan?" tanya gue.

"Jangan bahas itu lagi," jawabnya.

Gue membuang napas kasar. "Oke."

Gue beranjak dari sofa, dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih.

Tingnongtingnong

Bunyi bel rumah berdering. Gue berjalan menuju ruang tengah untuk membukakan pintu, tapi sepertinya mama sudah duluan membukakan pintu.

Semoga saja bukan Anjas.

Mama melihat ke belakang, lebih tepatnya ke arah gue.

"Siapa, Ma?" tanya gue.

Mama menjawab dengan gerakkan mulut saja tanpa mengeluarkan suara. Gue mencoba memahami setiap gerakkannya, tapi terlalu sulit untuk dimengerti.

Gue menghampiri mama, tapi mama segera menyuruh gue berhenti di tempat itu. Mama berjalan, mendekat ke arah gue.

"Ada apa, Ma?" tanya gue bingung.

Sengklek BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang