45-Kecewa

621 35 0
                                    

Selamat membaca!!!
Jangan lupa vote and comment

Anjas benar-benar pria yang sangat menyebalkan. Gara-gara kejadian kemarin, dia jadi tidak menceritakan misinya; mencari jalan terbaik bagi Mei. Untungnya, Anjas bilang hari ini dia mau menceritakan semuanya di taman belakang, pada saat jam istirahat.

Gue lihat jam yang menempel di dinding. Dua menit lagi bel istirahat akan berdering. Bu Siti selaku guru mata pelajaran Matematika senantiasa memeberikan materi dengan penuh semangat. Padahal, teman-teman gue yang lain kebanyakan tidur. Tak sengaja kedua mata gue menangkap keberadaan Anjas, yang ternyata dia sudah terlebih dahulu melihat gue. Anjas memberikan senyumannya, sedangkan gue segera memalingkan arah.

"Anjas Ramadhan!" teriak Bu Siti tiba-tiba.

Sebagian murid yang sedang tertidur segera menegapkan tubuhnya supaya tampak seperti memerhatikan.

"Si Anjas kenapa?" tanya Fathin sambil mengucek-ngucek matanya. Mulutnya terbuka lebar karena menguap.

"Tutup tuh mulut!"

"Hehe, sorry."

"Anjas, kenapa senyum-senyum sendiri?!" bentak Bu Siti.

"Soalnya hari ini ada pelajaran kesukaanku, Bu; Matematika," jawabnya ngeles.

"Kalau begitu, kerjakan soal yang ada di papan tulis ini!" suruh Bu Siti.

Anjas nyengir, memperlihatkan deretan gigi putihnya. Terlihat sangat manis memang.

"Bu, Anjas permisi ke toilet dulu, ya. Kebelet!" ucapnya sambil berlari keluar kelas.

Bu Siti tampak sangat kesal. Anak-anak sudah sangat cemas karena takut diberi hukuman mengerjakan tugas seabrek-abrek. Namun, amarahnya seketika harus terhenti karena bunyi bel istirahat telah berdering.

"Sampai jumpa minggu besok!" ucapnya, lalu melenggang pergi.

Anak-anak mengembuskan napas lega. Untungnya, Bu Siti tidak menghukum kami karena ulah Anjas.

"Gila, ya si Anjas! Berani-beraninya dia membuat Bu Siti marah!" gerutu Mulqi mengeluarkan unek-uneknya.

"Kalau sampai Bu Siti menghukum kita karena perbuatannya, gue gunting kepunyaannya!" kesal Putra.

"Biar dia enggak kebelet lagi," dengusnya.

Gue membiarkan saja anak-anak yang sedang menggosipkan Anjas. Itu salahnya, dia harus berani bertanggung jawab. Saat semua sibuk bergelut lidah, gue keluar kelas untuk bertemu dengan Anjas di taman belakang sekolah.

Gue menerobos jalur yang berbeda arah. Jika semua murid berlarian pergi ke kantin, gue sebaliknya. Bukannya enggak ingin memberi makan cacing-cacing yang kelaparan, tapi gue harus memenuhi perkataan gue kemarin yang mengiyakan ajakan Anjas.

Setibanya di sana, gue termenung. Melihat seorang pria dan seorang wanita sedang duduk di salah satu kursi yang ada di taman. Tapi gue segera menggelengkan kepala, membuang semua pikiran negatif yang memenuhi pikiran gue. Gue berjalan mendekat. Tunggu dulu. Kenapa jarak mereka sangat dekat? Gue menghentikan langkah kaki, mencoba mengamati setiap yang terjadi.

Anjas memegang ... kenapa kancing atas Mei terbuka? Apa jangan-jangan?  Enggak, enggak mungkin Anjas yang gue kenal se-nakal ini! Anjas selama ini enggak melakukan apa-apa sama gue! Apa mungkin waktu itu saat hidung Anjas dan hidung gue bersentuhan, sebenarnya Anjas ingin melakukan sesuatu yang aneh?

Gue mundur beberapa langkah, takut ketahuan mereka. Sialnya, kenapa air mata gue keluar tanpa diminta?

Trak

Bego, Pril. Bego! Kenapa gue harus menginjak ranting?

"April?" panggil Mei.

Gue ingin berlari, tapi Anjas buru-buru mencekal pergelangan tangan gue.

"Lo kenapa mau pergi, Pril? Katanya mau tahu semuanya," goda Anjas.

Setelah apa yang Anjas lakuin? Dia masih bisa santai?

"Kak April ke sini!" panggil Mei sambik tersenyum ke arah gue.

Ya, Tuhan kenapa gue seperti masuk ke dalam panggung sandiwara? Kenapa Anjas dan Mei terlihat baik-baik saja, setelah mereka melakukan hal yang enggak wajar? Ah ... gue harus bertindak! Gue enggak boleh diam saja!

"Anjas! Lo udah ngelakuin apa sama Mei?" tanya gue murka.

Anjas membulatkan kedua matanya.

"Emang gue udah ngelakuin apa?" tanya Anjas tampak tenang.

"Lo! Lo udah melakukan hal yang tidak senonoh 'kan dengan Mei?!" tanya gue dengan sedikit gemetaran.

Lo enggak boleh rapuh, Pril. Lo harus tegar! Hadapi kenyataan supaya Anjas mengaku dengan apa yang telah diperbuatnya!

"Maksud lo apa?" tanya Anjas yang membuat gue geram.

Mei menghampiri kita berdua. Dia masih memegang tangannya untuk menutupi bagian dadanya.

"Gue enggak nyangka sama kalian berdua! Kenapa kalian melakukan hal yang memalukan di sekolah ini?!"

Gue benar-benar tidak bisa mengendalikan emosi. Apa yang gue lihat tadi, seperti nyata dan tidak nyata.

"Maksud kakak apa?" tanya Mei dengan wajah polosnya.

"Mei, lo jangan jadi perempuan murahan! Kenapa lo diam saja saat Anjas memegang ... itu lo?" tanya gue sambil menunjuk dengan apa yang dimaksud.

Plak ... plak

Mei mendaratkan sebuah tamparan keras ke pipi gue. Ck, ternyata sikapnya tidak berubah, dia masih sama seperti Mei yang dulu.

"Mei! Apa yang lo lakukan?!" bentak Anjas. Dia berusaha memegang bekas tamparan di pipi gue, tapi segera gue menepisnya.

"Oh ... jadi ini buah hasil dari kerja keras lo selama ini?!" tanya gue ke Anjas. Lebih tepatnya menyindir.

Gue memberikan senyuman yang tak damai ke arahnya.

"Gue nyesel pernah dibuat nyaman sama lo!" ucap gue penuh kekecewaan.

Gue melenggang pergi keluar taman. Tak peduli berjalan tanpa arah. Asalkan gue enggak ke kelas, gue muak bertemu sama orang yang bernama Anjas Ramadhan!

Tamat?
.
.
.
.
Belum, dong...

Kita baru saja sampai di puncak konflik!!! Semoga feelnya dapat...

Tetap stay di sini, ya...

Beri dukungannya juga:)

Dan terima kasih yang sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerita ini

See u next chapter💜

TBC

Sengklek BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang