38-Bengkel rasa

662 33 0
                                    

Selamat membaca!!!
Jangan lupa vote and comment

"Gue pinjam bahu lo buat gue nyender, boleh?" tanya Anjas memecah keheningan.

"Bo-boleh," jawab gue sedikit gugup.

Anjas menyenderkan kepalanya di atas bahu gue, sedangkan gue sibuk mengatur detak jantung yang sudah tidak normal ini. Gue takut Anjas bisa mendengarnya, terlebih di tempat ini hanya ada kita berdua. Tidak lama kemudian, Anjas mengangkat kepalanya.

"Pril, lo punya penyakit jantung?" tanya Anjas santai.

"Enggak, kenapa emangnya?"

"Jantung lo berdetak kencang banget, enggak normal," jawabnya yang langsung membuat gue panik.

"Hah? Lo tau dari mana?"

"Hahaha, santai aja kali. Gue cuma ngasal," ujarnya tanpa beban.

"Lagian pipi lo merah banget kayak lagi kasmaran," ledeknya.

Gue langsung memegang kedua pipi, terasa hangat, tapi keadaan di sini membuat udara menjadi panas. Entah itu hal biasa atau malah akan terjadi suatu bencana.

"April! Anjas!"

Gue dan Anjas melihat ke arah sumber suara. Seorang cowok yang sudah tidak asing lagi sedang menatap tajam ke arah kita berdua. Iya, sang ketua dari Ekskul Repal ini --Ropikul --

"Lagi ngapain berduaan di tempat yang sepi kayak begini?" tanya Kak Ropikul tegas.

"Istirahat," jawab Anjas singkat.

"Masa istirahat memisahkan diri dari kumpulan anak-anak yang lain," sanggah Kak Ropikul tak percaya.

"Kak, kita ini masih SMA. Sudah tau mana hal yang baik dan buruk. Jangan berpikir macam-macam deh. Iya enggak, Pril?"

"I-iya."

"Iya sudah kalau begitu, cepat kumpul di lapangan! Penutupan akan dilaksanakan!" suruh Kak Ropikul.

"Siap!" ucap kita serentak.

🐼🐼🐼

"Kak Anjas!" Suara teriakan itu membuat gue dan Anjas membalikkan punggung.

Dahi gue berkerut melihat seorang gadis berponi sedang melambai-lambaikan tangannya kepada ... Anjas. Siapa lagi kalau bukan Mei. Dia berlari untuk menghampiri kita berdua, lebih tepatnya Anjas.

"Kak, kita pulang bareng, ya?" tanya Mei dengan mengedip-ngedipkan kedua matanya.

Anjas menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal. Ia melihat ke arah gue seakan berkata, "Gue harus gimana?" Pasalnya, sebelum Mei datang, Anjas sudah mengajak gue untuk pulang bareng dengannya. Mungkin karena hal ini, anjas merasa tidak enak hati kepada gue.

"Maaf, Mei. Gue udah ngajak April buat pulang bareng," tolak Anjas.

"Apa? Sama cewek lemah ini?! " tuduhnya tak suka.

Darah yang ada di hati gue berdesir cepat, seperti meronta-ronta ingin ke luar dari tempatnya. Apakah ini yang di namakan sakit tapi tak berdarah?

"Mei! Jaga omongan lo. Bersikap sopan sama yang lebih tua," tutur Anjas memberi nasehat.

"Hahaha, sorry," ucap Mei mengalah.

"Anjas, lo pulang sama Mei aja. Gue ada Pak Joni kok," elak gue.

"Enggak, Pril. Gue maunya bareng lo!" sanggah Anjas bersikukuh.

"Ish, nyebelin!" gerutu Mei sambil menyenggol lengan gue dengan sengaja, lalu dia pergi berlalu.

Sengklek BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang