37-Pemanasan

684 36 0
                                    

Selamat membaca!!!
Jangan lupa vote and comment

Semua anggota Repal keluar kelas, siap untuk menjalankan kegiatan di lapangan. Gue lihat Mei dan Anjas selalu berdua dari tadi, tidak asing rasanya jika harus melihat kedekatan mereka. Ghifar menyenggol badan gue yang membuat tubuh gue sedikit kehilangan keseimbangan.

"Ngapain lo memperhatikan Anjas dan Mei? Cemburu, ya?" tanya Ghifar.

"Enggak, gue heran aja kenapa mereka bisa sedekat itu. Setahu gue, Anjas enggak menyukai Mei," terang gue.

Ghifar menepuk-nepuk pelan pundak gue sambil memberikan senyum jailnya.

"Lo harus inget, sedekat apa pun seseorang jika hatinya tidak mau berlabuh, semua itu sia-sia," ujar Ghifar bijak.

Gue tertawa cekikikan mendengar Ghifar yang beberapa menit lalu cengeng, sekarang bisa berpikir dewasa.

"Kenapa lo tertawa?" tanya Ghifar kebingungan.

"Karena untuk membohongi diri sendiri perlu bahagia," jawab gue ngasal.

"Lama-lama lo ketularan sengklek dari Anjas, ya," kesal Ghifar sambil bergidik ngeri.

"Dari pada lo ketularan alay!" balas gue tak mau kalah.

"Lah, gue alay ketularan siapa?"

"Nenek moyang lo!"

🐼🐼🐼

Anak-anak Repal sudah melewati berbagai macam pemanasan pemula, mulai dari berlari, naik turun tangga, dan memanjat pagar yang sudah biasa dipakai sebagai simulasi awal sebelum benar-benar mendaki gunung.

Terlihat sederhana memang, tapi dari hal-hal kecil tadi secara langsung mengajarkan kita untuk berlatih dan mengukur seberapa jauh kemampuan yang sudah didapat. Nantinya, akan ada beberapa orang yang dipilih menjadi ketua untuk membimbing anggotanya.

"Lima menit untuk istirahat!" perintah Kak Ropikul.

Kak Ropikul memang pantas menjadi ketua Repal, pasalnya pengurus-pengurus yang lain jarang memandu jalannya kegiatan. Sebagian besar datang untuk hadir, dan pulang sebelum waktunya. Numpang eksis namanya.

Ghifar menghampiri gue dengan senyum sumringahnya. Gue merasa tidak enak hati dengan kedatangannya.

"Ngapain lo ke sini?" tanya gue sinis.

"Suka-suka gue!" jawabnya.

Kepala gue terasa penat, betis dan paha pun mulai pegal. Gue putuskan untuk menepi di teras kelas. Tanpa sepengetahuan gue, tiba-tiba Ghifar sudah berada di samping gue. Sontak gue sedikit terkejut.

"Kenapa lo masih mengikuti gue?"

"Suka-suka gue."

Mood gue menjadi buruk jika harus berdekatan dengan Ghifar. Hebat juga, ya Putri bisa menyukai cowok alay kayak begini. Padahal, kalau dipikir-pikir lebih keren Pak Joni dengan motor jadulnya daripada sama si alay ini.

Pemanasan hari ini cukup lama terlebih kebanyakan di outdor. Hal ini membuat tenggorokan gue terasa kering, tapi gue belum beli air minum. Saat melihat ke samping, ternyata Ghifar sedang meneguk minuman dingin tanpa memberikan tawaran. Gue hanya bisa menelan saliva dengan kasar.

Euuu

"Alhamdulillah, seger," ujarnya.

"Enggak sopan!" gerutu gue pelan.

"Ada gitu, ya orang yang rela temennya kehausan sedangkan dirinya malah enak-enakkan," sindir gue terang-terangan.

"Lo nyindir gue?" tanya Ghifar keterlaluan.

Gue membuang napas kasar. "Lo kira gue sedang memuji lo?!"

Anjas datang dengan membawa minuman segar di kedua tangannya. Bedanya kali ini dia tidak bersama gadis berponi itu.

"Ini buat lo," ucap Anjas sambil memberikan sebotol minuman.

Tangan gue tidak mau menerima pemberian dari Anjas. Padahal hati gue sangat menginginkan itu.

"Kenapa enggak diambil? Katanya tadi haus," cercah Ghifar.

"Oh ... mungkin si April lagi ngambek sama lo gara-gara tadi lo berduaan terus sama Mei," terang Ghifar memberitahu Anjas.

Sial!  Umpat gue dalam hati.

"Tenang aja, Pril gue tadi cuma nanggepin pertanyaan bercabang dari Mei," Anjas mulai menjelaskan.

Gue tahu kalau gue bukan siapa-siapanya Anjas, tapi gue juga berhak tahu apa saja yang dilakukan perempuan itu sampai beraninya mendekati seseorang yang sudah buat gue nyaman.

"Terus?" Mata gue melihat ke sekeliling tanpa berani menatap mata Anjas.

"Sepertinya Mei membutuhkan gue untuk tetap berada di sampingnya," jelas Anjas. Gue masih ingin mendengarkan penjelasannya. Gue enggak mau sampai ada penyesalan gara-gara sebuah kesalah pahaman.

"Terus?"

"Lo enggak boleh cemburu," ucap Anjas.

Kening gue berkerut. "Kenapa harus cemburu?"

"Karena gue yakin lo men-" Mei berteriak-teriak memanggil nama Anjas. Seketika perbincangan itu harus terputus.

Mei merangkul lengan Anjas, tingkahnya membuat gue ingin muntah saat ini juga. Anjas buru-buru melepaskan tangan Mei.

"Kakak ke mana aja? Aku cari ternyata ada di sini," ujar Mei dengan mengerucutkan bibirnya.

"Gimana mau ketemu kalau lo cari si Anjas di google. Iya enggak mungkin ketemulah," cercah Ghifar dengan lelucon garingnya.

"Apaan sih ikut campur aja," kesal Mei.

"Lo juga udah ikut campur," balas Ghifar tak mau kalah.

"Ikut campur apa?" tanya Mei.

"Rumah tangganya si Anjas sama April! Gitu aja enggak tau," ledek Ghifar puas membuat Mei bertambah kesal.

"Dasar muka tua sebelum waktunya!" cercah Mei tak terima.

"Dari pada lo, muka bayi berlapis dempul!"

Tangan gue ditarik begitu saja sama Anjas, dia membawa gue jauh-jauh dari keberadaan dua makhluk alay itu. Mungkin, telinga Anjas merasa pusing mendengar perselisihan antara Ghifar dan Mei.

"Kita berdua saja di sini, memilih tempat yang nyaman untuk sekadar berbincang."

TBC



Sengklek BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang