32-Keripik

760 55 5
                                    

Selamat membaca!!!
Jangan lupa vote and comment

Gue memutarkan knop pintu, membukanya secara perlahan dengan tubuh yang mulai menggigil karena kedinginan.

Mama langsung masuk ke dalam kamar mandi, menerobosnya begitu saja. "April, apa yang terjadi sama kamu?" tanyanya panik.

"A-aku pipis di celana, Ma," jawab gue sambil tertunduk malu.

"Terus, itu yang merah apa?" Tunjuknya ke arah kaki gue yang sedikit berlumuran darah.

"April lagi M, terus enggak kuat nahan pipis, jadinya gini," ucap gue dengan mata berkaca-kaca.

Mama menghembuskan napas lega. "Huh! Kirain apaan," balas mama santai.

"Mama ... ini tuh berbahaya! Anjas lihat semua ini, Ma, April malu," kesal gue.

"Sudahlah, lupakan saja. Kejadian tadi sudah menjadi bagian dari masa lalu, kamu harus melupakannya," tuturnya bijak.

"April udah enggak suci lagi," rengek gue.

"Jangan sedih, 'kan bisa dicuci, biar jadi bersih dan kembali suci," ucapnya ngawur.

"April bukan pakaian, Ma!!" kesal gue.

"Mama enggak bilang gitu loh, ya," ejeknya.

Gue membiarkan mama bicara sendiri, enggak berniat untuk menggubrisnya.

"Mandi, ya, awas kalau cuma di lap! Mama nyiapin mi dulu buat kamu," ucapnya, lalu pergi dari hadapan gue.

"Gue kangen papa," gumam pelan gue. "Papa cepetan pulang, bawa uang yang banyak, jangan bawa istri baru."

🐼🐼🐼

Pagi ini gue sudah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Tampaknya kejadian kemarin membuat rasa pusing gue hilang menjadi rasa kesal. Bukan kesal saja, tapi malu.

Papa masih belum pulang kerja sejak beberapa hari ke belakang, gue jadi enggak bisa diantar. Biasanya juga ada Fathin, tapi saat gue hubungi nomornya tidak aktif. Mama enggak bisa naik kendaraan apa pun, kecuali sepeda. Iya kali kalau gue diantar pakai sepeda, sampai enggak, yang jadi malah encok. Kebetulan Pak Joni lagi pulang kampung karena istrinya sedang sakit. Jomblo apes.

Terpaksa gue harus menunggu Angkot di Halte. Dari tadi beberapa Angkot sudah melintas, tapi semuanya penuh sama penumpang.

Tintintin

Tiba-tiba suara sepeda motor sport hitam berhenti di depan gue. Pengendaranya membuka kaca helm yang dikenakannya.

"April!" panggilnya. "Mei, Juni, Juli, Agustus."

"Anjay!" gerutu gue pelan.

"Lihat, Pril gue udah ganteng belum dengan motor baru?" tanya Anjas dengan membusungkan dada.

"Mau pakai motor apa pun, lo tetap kayak cowok. Wajah lo gak bakal berubah!" terang gue.

"Jadi intinya? Gue ganteng?" tanyanya kebangetan.

"Lo kira cowok ada yang cantik?!" kesal gue.

"Ada tuh, oppa-oppa Korea. Hahaha," jawabnya sambil tergelak.

"Lo tau keripik?" Anjas menganggukkan kepalanya.

"Garing!"

Anjas berhenti dari tawanya. Bola matanya naik ke atas, sepertinya dia sedang berpikir. Sedetik kemudian, Anjas tertawa lagi.

"Oh ... gue paham! Hahaha," tawanya renyah.

Pagi ini mood gue udah hancur sama Anjas. Entahlah kenapa Tuhan mempertemukan gue dengannya.

"Bareng, yuk!" ajak Anjas.

"Jangan tolak! Nih, pakai helmnya!" suruhnya tanpa menunggu jawaban gue.

Gue melihat jam tangan yang melekat di pergelangan tangan gue, ternyata sudah pukul 06.50 WIB. Terpaksa gue harus menerima bantuannya.

Sepanjang perjalanan, Anjas tidak berkutip sama sekali. Gue rasa Anjas sedang puasa ngomong.

"Btw, cuaca hari ini dingin banget, ya!" ucap Anjas mengawali pembacaraan.

"Huum."

"Pril, lo tau boneka enggak?" tanya Anjas aneh.

"Iya tau," jawab gue apa adanya.

"Boneka itu enak banget buat dipeluk 'kan?" tanyanya.

"Iya, terus?" tanya balik gue.

"Nah, gue itu boneka. Enak buat dipeluk," jawabnya sambil cekikikan.

"Lo tau keripik?"

"Garing!" Wle, udah tau!" ucapnya bangga.

Gue hanya memutar bola ke atas, harus kuat iman untuk menghadapi si Colek ini.

Keadaan menjadi hening lagi, tidak ada pembicaraan yang menjadikan persilatan antar mulut. Gue lihat jam sudah menunjukkan pukul 7 lebih 5 menit. Gue kaget, sekaligus terkejut. Refleks gue mencubit lengannya.

"Apaan lo cubit-cubit gue?"

"Gue memang gemas, tapi jangan gitu juga kali!"

"Ish Anjas! Kita terlambat ke sekolah!"  ucap gue panik.

"Wah, pukul berapa gitu?"

"Pukul 7 lebih."

"Oh," balasnya tenang.

Gue lihat dari kaca spion, wajahnya sangat tenang. Tidak ada kekhawatiran sama sekali.

"Lo kok malah santai aja?! Cepetan nanti kita kesiangan!" teriak gue.

"Lo kenapa marah-marah? Santai aja kali."

Ucapan Anjas ada benarnya juga. Gue tarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Membuang semua amarah yang bisa bikin gue naik darah. Anjas melihat kelakuan gue dari kaca spion. Tatapannya tak lepas yang membuat gue salah tingkah sendiri.

"Jangan lihatin gue terus! Fokus ke depan!" suruh gue.

"Memangnya kenapa?" tanyanya kelewat oon.

"Iya nanti kita bisa celaka bego!" jawab gue gemas.

"Enggak apa-apa kalau kita celaka, setidaknya kita bisa meninggal bersama. Jadi enggak bakal ada yang merasa kehilangan," ucapnya ngawur.

"Astaghfirullah! Lo harus ingat dosa!"

"Tanpa dosa, bukan manusia," ucapnya.

"Punya dosa aja bangga!"

"Kata siapa? Gue lebih bangga kalau punya lo," terangnya.

Gue menelan ludah kasar. Apa yang Anjas katakan barusan?

"Eh, ki-kita cari makanan dulu, ya, gue lapar belum sarapan," ucap Anjas.

"Iya."

Terima kasih telah membaca!!!
TBC

Sengklek BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang