49-Hati

747 41 2
                                    

Selamat membaca!!!
Jangan lupa vote and comment

Mei masih ada di samping gue, kita saling berpegangan tangan dengan genggaman yang sangat erat. Seperti layaknya seorang kakak yang sedang menemani adiknya jalan-jalan.

"Kita mau ke mana?" tanya gue setelah lama hening.

Mei mengayun-ayunkan genggaman tangan kita; maju dan mundur. Memberi kebebasan untuk bergerak-gerak, agak pegal memang. Tapi kita enggak mau saling melepaskan.

"Kak April!" Panggilan itu membuat gue menoleh ke arah sumber suara.

"Shasha?"

Shasha mendekat, dan memeluk gue.

Shasha mendongakkan kepala, dan melepas pelukannya. "Kakak enggak mau membalas pelukan aku?"

Gue tersenyum, menatap Mei sebentar. Lalu, perlahan mulai melepaskan genggaman itu. Mei tersenyum balik ke gue.

"Ayo, pelukkan lagi!" balas gue sambil merentangkan kedua tangan, dan sedikit berjongkok. Shasha membalas pelukan gue dengan sangat antusias. Dia terlihat tambah lucu dengan memakai bandana berwarna merah muda.

Shasha melepas pelukan itu. Dia senyum-senyum ke arah gue. "Lagi bahagia, ya ...."

"Huum."

"Shasha ke sini bareng siapa?" tanya gue.

"Kak Yasa," jawabnya.

Ah, iya gue ingat. Taman ini 'kan enggak jauh dari kompleks. Yasa juga pasti sering ke sini.

Yasa datang sambil tersenyum tipis. Jika tidak melihatnya lekat-lekat, mungkin senyum itu tidak akan terlihat karena sangat tipis.

"Emm ... Kak April, gue pulang duluan, ya. Mama udah jemput," pamit Mei.

"Oke, hati-hati di jalan!" ujar gue sambil melambai-lambaikan tangan.

Mei membalasnya dengan melambaikan tangannya juga. Perlahan menjauh, hingga tidak terlihat lagi oleh mata.

"Kak, aku main ayunan dulu, ya!" Shasha berlarian kecil bak anak kecil. Tapi di mata gue tetap terlihat lucu dengan tingkahnya.

Oh, iya di taman ini selain banyak macam-macam bunga yang indah, ada juga tempat bermain untuk anak-anak seperti ayunan, perosotan, dan masih banyak lagi.

Yasa berdeham, membuat gue menoleh ke arahnya.

"Shasha kelas berapa?" tanya gue.

"Enam," jawab Yasa.

"Apa? 6? Masih SD kalau gitu." Gue benar-benar kaget, tak menyangka jika Shasha masih SD. Tubuhnya yang tinggi membuatnya terlihat seperti dewasa. Tapi gue tetap suka, dia sangat lucu.

"Shasha berperawakan sangat tinggi, hereditas dari eyangnya," terang Yasa.

Gue hanya mengangguk-anggukkan kepala. Pantes saja kalau begitu.

“Lo di sini cuma sama cewek yang tadi doang?” tanya Yasa.

Gue mengernyitkan alis. Tumben Yasa menanyakan hal yang enggak penting.

“Mei maksudnya?”

“Ah, iya mungkin. Gue enggak kenal.”

“Tadi sih sempet sama Anjas, tapi gue sama Mei ninggalin dia. Jadi ... ya, lo tau sendiri,” terang gue sambil mengangkat kedua bahu.

“Sebenarnya, gue suka sama lo.” Yasa menatap dalam mata gue, lalu dia memegang kedua tangan gue.

Apa benar cowok yang ada di hadapan gue ini Yasa? Gue merasa takut dalam kondisi seperti ini. Takut jika gue bisa melukai hati seseorang, dan gue juga takut melukai hati gue sendiri. Oke, gue bisa menangkap kata-kata Yasa tadi. Itu mengarah ke sesuatu yang ... kebanyakan anak remaja bilang ‘pra-tembak’. Meski gue enggak berpengalaman, dan belum pernah ditembak sekali pun,  tapi gue sering menemukan novel yang di dalamnya ada dialog seperti ini.

Sengklek BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang