PROLOG

10.1K 761 34
                                    

Suara deruman motor menyisir jalanan dengan lajunya yang cepat. Kepadatan jalan raya di sore hari seolah tidak memberi hambatan apapun. Motor itu bergerak tanpa ada halangan. Melewati sebuah pertigaan lalu berbelok ke arah timur, memasuki sebuah kawasan kompleks perumahan. Sunyinya perumahan disana membuat suara derum motor semakin terdengar kencang. Dedaunan ikut tersapu oleh angin yang berhembus seiring melajunya motor. Lalu berhenti di depan sebuah pekarangan rumah yang luas, dengan rerumputannya yang hijau.

Laki-laki itu membuka helm yang terpasang di kepala. Lalu mengibaskan rambut dengan gerakan ke kanan dan ke kiri dalam tempo yang cepat. Benar-benar sepi disana. Sepanjang mata memandang hanya ada dedaunan gugur yang menghiasi jalan. Tidak ada anak-anak kecil yang selalu berlarian di depan rumah, bermain sepeda sambil berteriak kencang memanggil kawan-kawan, atau seorang baby sitter yang sedang menyuapi bayi dalam gendongan sambil melihat anak-anak kecil yang bermain dengan riangnya. Hari ini semuanya berbeda. Semua yang ia sebutkan dalam kepalanya tadi tidak ada disana.

Angin menyambut kedatangannya. Satu persatu kakinya melangkah melewati jalan setapak yang mengantarkannya menuju pintu depan. Sesekali tangannya bergerak mengusap ujung rambutnya. Pintu dengan mudahnya terbuka seolah memang sudah siap untuk menyambutnya pulang.

"Bun, Ale pulang!"

Sepi.

Ujung kaki kanannya menahan belakang sepatu sebelah kiri lalu menarik kakinya keluae hingga sepatu tersebut terlepas. Hal yang sama dilakukan pada kaki kanannya, lalu meletakan sepatu pada rak, dan melangkah menuju ruang tengah, tempat yang biasa menjadi tempat berkumpul keluarganya.

"Bunda?" Alisnya mengernyit. "Bunda lagi apa?"

"Eh, udah pulang, Le?"

Rike menengadah, menemukan wajah anak lelakinya yang baru saja pulang sekolah. Kelihatan begitu kusut. Berbanding terbalik dengan stylenya yang begitu rapi, trendy, seperti kebanyakan anak remaja seusianya. Rike menggeser posisi duduknya lalu menepuk-nepukan tangannya pada space kosong di sebelahnya. "Sini, duduk sini, di sebelah Bunda."

Ale, atau kebanyakan orang memanggilnya Iqbaal, tanpa menaruh curiga menggerakan kakinya menuju sofa. Tangannya meletakan tas pada sofa single. Sementara ia sendiri mendudukan tubuhnya di sebelah Rike. "Kenapa, Bun? Ada yang mau diomongin ya?" Iqbaal menatap Rike serius. Ia sudah menebak dibalik perintah Rike yang menyuruhnya untuk duduk di sebelahnya.

"Ah, enggak. Bunda mau ngobrol bentar aja sama kamu." Kata Rike, yang dari nada bicaranya seolah sedang mengelak. Tapi Iqbaal tidak bisa berpikir macam-macam. Ini Ibunya. Dan Iqbaal hanya bisa menunggu sampai tahu yang sebenarnya.

"Bunda mau ngobrolin apa?" Tanya Iqbaal berusaha tenang. Sejenak melepas jaket hitam kulitnya karena suhu ruangan yang membuatnya sedikit terasa gerah. "Teh Ody sama Ayah belum pulang ya, Bun? Sepi banget."

"Iya, paling Ayah nanti malem pulang. Teh Ody bilangnya mau lembur dulu. Katanya dokter yang kebagian jaga nggak hisa masuk malem ini, jadi Teh Ody yang gantiin." Rike menjelaskan..

Iqbaal manggut-manggut mengerti.

"Le, kamu sekarang udah tujuh belas tahun 'kan? Jalan ke delapan belas?" Rike bertanya. Tapi lebih terdengar seperti sedang memastikan.

"Iya. Ale udah besar, Bun, sekarang."

"Nah, kamu udah ngerti 'kan kalo sekarang kamu udah besar?" Rike memastikan lagi, Iqbaal balas dengan anggukan dengan ekspresi wajah yang kebingungan atas semua pertanyaan Bundanya barusan.

"Bun, Ale nggak ngerti apa yang lagi coba Bunda omongin ke Ale sekarang." Iqbaal berkata lembut, tanpa ingin menyakiti perempuan yang sudah melahirkannya ke dunia. "Tapi kalo Bunda bilang to the point, Ale bakal lebih ngerti."

"Jadi kamu mau to the point ya?"

Iqbaal mengangguk lagi, tanpa keraguan.

"Atasan tempat kerjanya Bunda dulu, minta satu hal sama Bunda." Rike berucap pelan, seolah takut anak lelakinya ini tidak terima. "Bunda nggak tau kamu bakal setuju apa enggak. Tapi Bunda pengen jawaban bijak dari kamu supaya Bunda bisa kasih kepastian tentang permintaan beliau. Kalo kamu setuju, Bunda bakal mendukung. Tapi kalo enggak...ya bingung juga. Masalahnya ini menyangkut masa depan kamu."

Maksudnya, wanita sudah berumur lewat paruh baya itu? Kalau yang dimaksud Bundanya adalah orang tersebut, Iqbaal tahu orangnya. Dulu, sewaktu Iqbaal masuk SMP, Bundanya pernah bekerja di sebuah PT yang bergerak di bidang distributor tabung gas. Ayahnya belum semapan sekarang, yang bisa membeli apapun tanpa harus melihat harga. Rike memutuskan untuk ikut banting tulang supaya bisa menutupi uang kuliah kakak perempuannya yang saat itu dinyatakan lulus di jurusan kedokteran. Tentu saja biayanya tidak murah.

Kebetulan atasan Bundanya itu tetangganya sewaktu masih tinggal di rumah lama, bukan rumah yang ia tinggali sekarang. Jadi Iqbaal sangat tahu betul wanita yang mungkin seumuran dengan neneknya itu.

"Emang," Iqbaal berkata lagi. "permintaannya apa?"

Rike menarik napas. "Tapi kamu harus tau, Le. Bunda nggak pernah maksa kamu buat terima." Katanya lagi kalau-kalau respon dari Iqbaal tidak sesuai ekspektasi.

Iqbaal mengangguk paham. Benar-benar memahami dan berusaha untuk tidak marah seperti yang Bundanya takutkan. Sekarang Iqbaal agak khawatir. Apa maksudnya dengan menyangkut masa depan?

"Beliau minta," Rike memberi jeda. "kamu," dengan jelas ditujukan untuknya. "untuk tunangan sama cucu perempuannya minggu depan."

Apa katanya? Tunangan?




Bersambung...

Haiiii!!!

Gue memutuskan untuk remake cerita ini dengan alur yg baru, yg lebih fresh. Tenang ajaa, castnya iqbaal-enka kok. Bedanya, ini anak sekolahan gitu, bukan orang dewasa kaya MPH

Tapi gue jamin kadar kemanisannya bakal sama dan engga bikin kalian julid sama pelakor or kebanyakan konflik ngehehe

So, gimme ur vote and comment!

29/07/18

Love, IqbaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang