PART 11 - INSECURE

4.6K 667 19
                                        

“Menurut lo, anak cewek yang suaranya bagus siapa?”

Iqbaal mengerutkan dahi begitu mendengar pertanyaan dari Evan. Juga Tristan, Ergan, yang lima belas menit lalu ikut berunding menentukan vokalis perempuan yang masih kosong. Mumpung kelas sedang tidak ada guru karena yang bersangkutan sedang ada keperluan, lebih baik Iqbaal gunakan saja untuk berunding dengan grup akustik yang sudah dipilihnya.

Seperti setiap tahunnya, sekolah akan mengadakan pensi untuk memeriahkan dirgahayu Republik Indonesia sekaligus memperingati hari ulang tahun sekolah yang jatuh tepat sehari setelah HUT RI. Salah satu yang paling digembor-gemborkan adalah pentas akustik. Dimana setiap masing-masing kelas harus mengirimkan satu grup beranggotakan empat sampai enam orang untuk mengikuti acara tahunan ini. Sebagai ketua OSIS sekaligus ketua pelaksana acara, Iqbaal menghimbau supaya semua siswa ikut berpartisipasi dalam acara. Setidaknya Iqbaal menginginkan adanya kerja sama di setiap angkatan untuk melacarkan acara yang sudah dirancang jauh-jauh hari. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk membuat sebuah acara sekaligus mengajak seribu seratus siswa saling bekerja sama.

“Menurut lo siapa, Tan?” Ergan malah bertanya pada Tristan yang bahkan kelihatan acuh tak acuh.

“Yang gue tau anak-anak cewek kelas kita demennya kalo nggak dandan, gosip, ya jajan.” Jawaban Tristan mengundang decak kesal dari Edgar. Namun diangguki setuju oleh Evan.

Iqbaal menghela napas. Menyandarkan punggungnya pada kursi sambil menatap teman-temannya satu persatu. “Gimana kalo Dara? Seinget gue dia pernah ikut lomba nyanyi. Tapi ya emang nggak menang.”

“Dara ya?” Evan tampak berpikir. Nama yang Iqbaal sebutkan tadi masih teman satu kelasnya. Tipikal perempuan yang pendiam dan tidak banyak bicara ketika di kelas. “Denger dia ngomong aja jarang. Sekalinya ngomong lembuuuut banget kaya putri keraton.”

Tristan manggut-manggut membenarkan. “Gue jadi ragu dia bisa nyanyi.” Lalu melirik Iqbaal yang duduk di sebelahnya.

Actually, gue juga belum pernah denger dia nyanyi sih.” Iqbaal tersenyum nyengir pada teman-temannya. “Yaudah, berarti Dara nggak masuk kandidat. Coba yang lain, ada saran nggak buat ngisi vokalis?”

“Bentar ya, Baal, gue mikir dulu.” Sambil berpikir, Ergan mengedarkan pandangan ke sisi ruangan kelas yang cukup kosong karena kebanyakan memilih untuk diam di luar sambil mengobrol. Yang dilihat matanya hanyalah beberapa anak perempuan saja di jajaran seberang. Tempat dimana Fika dan empat cewek lainnya saling berbagi tawa entah mengobrolkan hal apa.

Tapi yang membuatnya berpikir keras adalah sosok yang sedang bersandar pada kursi dengan earphone terpasang di telinganya. Sesaat Ergan memperhatikan bagaimana bibir itu bergerak seperti menggumamkan lirik lagu. Atau kepalanya yang juga ikut bergerak menikmati alunan musik.

“Menurut lo,” Ergan melirik ke arah Iqbaal lagi. “(Namakamu) bisa nyanyi nggak? Cuma dia doang yang belum gue tau.”

“(Namakamu)?” Ergan langsung mengarahkan dagunya ke tengah ruangan saat Evan bertanya. “Oh, si murid baru. Dari gayanya sih kayanya doi bisa nyanyi.” Entah pemikiran darimana sampai Evan bisa berkata seperti itu.

“Pertama kali gue denger jelas suara dia...ya pas insiden dijambak sama Icel waktu itu, pada tau ’kan?” Tristan giliran memandang teman-temannya satu persatu dan langsung dibalas anggukan. “nah, disitu gue langsung mikir, ini anak bisa nyanyi nih pasti!”

“Gue liat aura Raisa x Isyana di diri (Namakamu).” Obrolan pun semakin ‘ngaco’ saat Ergan ikut menimpali.

“Berat, Gan.” Decak Tristan geleng-geleng kepala.

Ergan pun tertawa meremehkan. “Yah nggak percaya.”

Sementara yang lain berbicara, Iqbaal justru mengarahkan pandangannya pada (Namakamu) yang sedang sibuk sendiri dengan earphone di telinga. Sejauh ia mengenal perempuan itu, Iqbaal tidak pernah tahu kalau (Namakamu) bisa bernyanyi atau tidak. Menyimak suara ketika (Namakamu) berbicara saja tidak Iqbaal lakukan. (Namakamu) lebih banyak diam ketika bersamanya. Namun akan terus berbicara saat Iqbaal mengajaknya berdebat sampai ia mengakui kalau (Namakamu) memang selalu benar. Tanpa sadar Iqbaal malah memikirkan (Namakamu) ke arah yang lain.

Love, IqbaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang