PART 5 - TROUBLE

4.4K 710 14
                                        

Masa orientasi peserta didik baru sudah berakhir sejak seminggu yang lalu. Kegiatan belajar mengajar perlahan-lahan mulai kondusif, khususnya untuk siswa kelas XII. Selain dikejar oleh waktu, para guru juga harus segera menuntaskan pemberian materi sesuai kurikulum yang berlaku supaya siswa kelas XII lebih mudah menyerap apa yang disampaikan dan belum terdesak oleh berbagai macam ujian.

Suasana kelas XII IPA 2 begitu hening. Tampak semua siswa duduk rapi di bangku masing-masing. Bahu membungkuk, pandangan mengarah pada buku tulis seraya berpikir keras mencari jawaban atas soal yang diberikan oleh guru. Kali ini sedang jadwalnya Bu Titin mengajar, guru Matematika Wajib. Materi tentang bangun ruang ternyata cukup menguras pikiran. Apalagi jika jawabannya sudah mengarah pada bentuk akar. Tidak panjang untuk menulis jawaban, tapi butuh waktu panjang untuk menghitungnya sekaligus berpikir rusuk mana sajakah yang harus ikut dihitung.

“Eh, lo!”

(Namakamu) melirik ke samping. Tangan kirinya menumpu keningnya yang terasa dibuat pening oleh soal-soal ini. Meski ia sudah mengerjakan setengah dari total lima buah soal, masih ada dua soal lagi yang harus ia kerjakan jika (Namakamu) menemukan jawaban untuk nomer tiga.

Michella. Teman sebangkunya memanggil. (Namakamu) hanya balas dengan lirikan. Hampir dua minggu ia duduk satu meja dengan Michel, (Namakamu) mulai paham apa yang pernah Fika dan Nadira ceritakan padanya. Tentang Icel yang ternyata bukan tipikal murid tahu aturan, Icel yang selalu menyontek semua pekerjaan rumahnya, yang akan selalu marah jika (Namakamu) tidak memperkenankan Icel melihat jawaban miliknya. Icel ternyata seburuk itu. Belum lagi makian yang akan keluar dari bibir cantiknya kalau (Namakamu) berlaku pelit. Seisi kelas bahkan tahu kalau Icel bukan orang yang mudah dihadapi seorang diri. Icel memang bukan anak dari petinggi di sekolah yang memiliki kepentingan di atas teman-temannya, tapi Icel memiliki power yang lebih untuk menjatuhkan siapapun yang bermain-main dengannya.

“Udah ngerjain sampe mana lo?” Bisik Icel was-wa. Takut terdengar oleh Bu Titin.

“Baru nomer 3.” Jawab (Namakamu) pelan. Ia sengaja tidak menyodorkan bukunya supaya terlihat oleh Icel. Biarkan Icel sendiri yang mencondongkan tubuhnya untuk melihat sudah sampai mana pekerjaannya.

“Ah tolol! Masa lima nomer gitu aja lo belum beres?” Bisik Icel lagi. Kali ini nada suaranya terdengar emosi, kesal, tanpa lupa diawali dengan makian. “Percuma gue sebangku sama murid baru, pinter aja kaga!” Katanya lagi.

Semua umpatan Icel hanya (Namakamu) abaikan. Telinganya mungkin mendengar. Tapi sekuat tenaga (Namakamu) menahan bibirnya untuk tidak berbicara. Sia-sia jika ia terus meladeni semua perkataan Icel. Kata-kata yang keluar dari bibirnya, tentu saja sama sekali tidak benar. Jadi untuk apa (Namakamu) membalas? Toh jika anjing menggonggong, kafilah berlalu. Biarkan saja.

“Ya? Ada yang sudah?” Bu Titin kembali bersuara. Beberapa ada yang merespon dengan suara pelan. Ada juga yang hanya diam, fokus pada buku tulis di hadapan mereka sambil terus berpikir untuk mencari jawaban. “Silahkan, yang sudah, boleh tulis jawabannya di depan.” Bu Titin mengacungkan sebuah board marker di tangannya dan meletakannya di sisi meja guru. Barangkali ada muridnya yang sudah selesai mengerjakan, bisa segera maju ke depan, mengambil board marker lalu menulis jawabannya di papan putih.

Seperti biasa, si rangking satu dalam kelas akan menjadi orang pertama yang mengerjakan soal di depan. Iqbaal mengambil board marker dari meja guru, membaca buku tulis di tangannya sekali lagi, barulah mulai menulis di papan dengan tulisan seadanya. Tidak bagus, namun juga tidak menanjak. Cukup terlihat oleh kawan-kawannya yang duduk di belakang sana.

“Jadi hasilnya berapa?” Bu Titin bertanya sekali lagi. Mengarahkan pandangannya pada Iqbaal yang baru saja selesai mengerjakan.

“Enam akar tiga, Bu ” Jawabnya.

Love, IqbaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang