PART 22 - FOR SURE

3.5K 608 43
                                        

Pagi-pagi Iqbaal sudah nangkring di depan rumah (Namakamu) seperti biasa. Duduk diatas motor, menyilangkan kedua tangan di depan dada, laki-laki itu menunggu dengan sabar. Seperti setiap harinya. Saat hari-hari sekolah.

Suara berisik dari arah pintu, refleks membuat sendi di antara lehernya berputar ke arah kanan. Tepat saat (Namakamu) mendekap sebuah tas jinjingan berukuran besar dengan kedua tangannya yang mungil. Terlihat begitu kesusahan seperti sedang membawa sekarung beras. Tanpa berdiam lebih lama lagi, Iqbaal turun dari motor lalu datang menghampiri. Mengambil alih tas berbobot cukup berat itu dari tangan (Namakamu). Yang setelah Iqbaal telisik, ternyata hanya berisikan beberapa buah buku paket saja.

“Bawaan kamu segini aja?” Tanya Iqbaal sambil mengangkat rendah tas tersebut. “Baju-baju? Seragam?”

Menjawab pertanyaan Iqbaal, (Namakamu) menyampingkan badannya lalu menepuk-nepuk tas punggungnya yang menggelembung penuh. “Udah nih! Semuanya aku masukin disini.” Ujarnya. Kembali pada posisi semula. “Makannya buku-buku aku masukin semua disitu. Nggak muat kalo aku simpen juga di tas.” Dengan bibir mencebik.

Iqbaal terkekeh gemas. Diusapnya rambut (Namakamu) yang kemudian diakhiri dengan elusan lembut di bagian belakang kepala yang tertutupi oleh rambut panjang hitam tergerai hingga batas bahu. “Ada lagi nggak? Kalo masih ada, simpen aja di tas aku. Masih muat kok.”

Bersamaan dengan tawaran itu, (Namakamu) lebih dulu mengunci pintu rumahnya rapat-rapat dan memasukan kunci tersebut pada kantong kecil di bagian depan tasnya. “Nggak ada. Udah cuma segitu. Yuk ah berangkat!”

Iqbaal membiarkan (Namakamu) berjalan lebih dulu ke arah motornya yang sedang terparkir. Sementara dirinya membuntuti dari belakang, meletakan tas jinjingan (Namakamu) di bagian depan motor yang ternyata masih menyisakan space kosong untuk meletakan tasnya juga disana. Setelah membetulkan posisi, baru Iqbaal menangsurkan helm bogo pada (Namakamu) yang sedang sibuk bermain handphone.

“Main hape mulu.” Iqbaal menyindir. Yang kemudian mendapatkan inisiatif untuk memasangkan helm tersebut pada kepala (Namakamu) yang agak menunduk karena menatap layar handphone di genggaman. “Sini, angkat dikit dagunya.” Dan bunyi ‘klik’ pun terdengar setelahnya.

“Makasih..” Ujar (Namakamu) tersenyum lebar hingga sudut matanya ikut menyipit.

Iqbaal hanya balas tersenyum dan giliran memakai helmnya sendiri.

“Oh iya!” Perempuan itu kembali berseru. Kali ini sambil memasukan handphone pada saku rok. “Buat hari Jumat, aku pinjem buku paket punya kamu ya? Nggak muat kalo harus dibawa semua.”

“Jadi buku yang kamu bawa cuma buat hari ini doang?” Tanya Iqbaal tidak percaya.

(Namakamu) menyengir ria. “Hehe. Iya. Lagian hari Jumat kamu bakal dispen ’kan? Boleh dong aku pinjem buku paket kamu?” Sambil menaik-naikan kedua alisnya.

“Buat pacar, apa sih yang enggak?” Iqbaal mencubit pelan pipi (Namakamu) dengan tawanya yang khas. Membuat siapapun yang mendengar akan dibuat berdebar.

Laki-laki itu segera menaiki motornya. Menengok ke belakang, Iqbaal menggerakan dagunya menyuruh (Namakamu) untuk naik. Yang tanpa perlu menunggu lama, perempuan itu langsung duduk di bagian belakang dengan posisi yang sama seperti hari biasa.

“Pegangan ya!” Iqbaal seraya menyalakan mesin.

“Dimana?” (Namakamu) justru bertanya.

Mau tidak mau Iqbaal menoleh lagi. “Kaya kemarin. Masa harus diingetin lagi?”

“Ohhh..” (Namakamu) menunduk malu. Namun tak urung merambatkan tangannya ke depan, melingkari pinggang itu erat dengan sebelah sisi helm menempel pada punggung lebarnya yang hari ini terlapisi jaket baseball. Hangat.

Love, IqbaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang