“Gue harap lo bakal bilang iya, (Nam..).”
(Namakamu) melirik Iqbaal yang berbisik di dekatnya lalu menampilkan senyuman penuh pengharapan di bibirnya. Gerakan menata bukunya terhenti beberapa saat. Teringat kembali tentang permintaan Iqbaal kemarin sore, di parkiran sekolah, tentang menjadi vokalis perempuan di band akustik. Sejujurnya (Namakamu) sudah menentukan jawaban. Tapi ia masih bingung. Lalu kembali menimang-nimang. Sampai tadi Iqbaal bertanya pun, (Namakamu) masih belum yakin dengan keputusannya sendiri. Bukan tidak percaya pada Iqbaal atau teman-teman di band akustik. (Namakamu) hanya tidak bisa percaya pada dirinya sendiri.
“Gue sih nggak maksa.” Iqbaal berkata lagi. Meletakan tas di atas meja supaya lebih mudah untuk memasukan buku pelajaran karena saat ini sudah masuk jam istirahat. “Tapi ya...kalo lo mau, gue bakal berterima kasih banget buat itu.”
(Namakamu) bergeming seraya menatap Iqbaal yang berharap penuh kepadanya.
“Demi kelas kita, (Nam..). Bukan demi gue.”
“Wajahnya biasa aja dooong...” (Namakamu) mengusap kasar wajah Iqbaal dengan telapak tangannya. Lalu tertawa karena menurutnya wajah itu benar-benar terlihat melas sampai-sampai membuat perut (Namakamu) geli.
Laki-laki itupun merubah ekspresinya barusan. Sesaat menggumamkan tawa, sebelum mengubah posisi duduknya sedikit lebih dekat dengan (Namakamu). “Habis gue nggak tau cara bujuk orang yang bener kaya gimana.” Keluhnya bersama cengiran.
(Namakamu) masih mempertahankan senyum geli di bibir selagi ia merapikan isi tasnya. “Mmm...kalo gue nolak?” Tanyanya iseng.
“Ya udah berarti grup akustik cukup berempat aja. Nggak usah pake vokalis cewek.” Iqbaal mengatakannya dengan pasrah. “Tapi gue pengennya ada vokal cewek. Biar nggak usah ngatur ulang konsep yang udah gue buat jauh-jauh hari.”
Kasihan.
“Oke.”
“Oke apa?”
(Namakamu) kembali terkekeh. “Oke iya.”
“Iya apa?” Iqbaal menegakan punggungnya.
“Menurut lo?”
“Jadi lo mau?”
Lagi-lagi (Namakamu) tertawa. Entah kenapa ia merasa geli kalau harus terang-terangan mengatakan ‘iya’ pada cowok itu. Jadi yang (Namakamu) lakukan adalah menganggukan kepala. Sebelum akhirnya cowok itu bersorak ‘yes’ dengan wajah kegirangan.
“Gue nggak tau lagi harus bilang apa.” Lalu Iqbaal meletakan kedua tangannya di bahu (Namakamu) sambil mengunci pandangan cewek itu supaya hanya melihat ke arahnya. “Makasih, (Nam..). Welcome to our group acoustic! Nanti gue kabarin kapan latihan pertama kita dimulai dan dimana kita bakal latihan, oke?” Iqbaal benar-benar tidak bisa menahan kebahagiaan yang tampak di wajahnya. Sungguh hal tersebut membuat (Namakamu) ikut bahagia, entah bagaimana.
“Oke.” Angguknya lalu tersenyum.
“Gue bakal anter jemput lo kaya biasa kita ke sekolah.” Ujarnya yang hanya bisa (Namakamu) balas lagi dengan anggukan juga senyuman. “Kalo gitu gue ke ruang OSIS dulu ya. Daah!”
Iqbaal menyempatkan mengusap rambut (Namakamu) sebelum berjalan ke arah pintu dan keluar dari kelas. Sementara di tempat duduknya, (Namakamu) terdiam. Tubuhnya menegang. Iqbaal sudah sering mengusap rambutnya tapi yang kali ini sungguh berbeda. Cowok itu sedang bahagia. (Namakamu) bisa merasakannya hanya dengan melihat ekspresi yang terpatri di wajah Iqbaal. Entah bagaimana, tapi cowok itu begitu senang mendengar kata ‘iya’ yang keluar dari bibirnya. Se-kabar baik itukah sampai bisa membuat Iqbaal girang seperti itu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Iqbaal
Fanfiction"I'm sorry, but you don't need to be chatty to get my attention. I love the way you being quiet, the way you smile, the way you care behind me..."