Actually gue rada ga sreg sama part ini, ga sreg sama narasinya. But karena gue gamau bikin kalian nunggu, yaudah gue publish stok part terakhir yg ada di draft gue. So yeah its mean, abis ini gue bakal rada ngaret lagi karena gue belum ngetik lagi hehe
anyway correct me if I'm wrong, thank youu
oOo
"Makasih, Pak."
(Namakamu) turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih pada Pak Iman yang mulai hari ini dan mungkin sampai beberapa hari ke depan akan mengantar-jemputnya ke sekolah. Sebenarnya bukan keinginan (Namakamu). Tapi permintaan Eyang. Apalagi semenjak Eyang tahu kalau ia sudah jarang berangkat bersama dengan Iqbaal, saat itu juga Eyang menyuruh Pak Iman untuk mengantarkannya ke sekolah.
Terlepas dari itu semua, hubungannya dengan Iqbaal masih baik-baik saja. Hanya, laki-laki itu memang sedang sibuk akhir-akhir ini. (Namakamu) tidak bohong. Jika biasanya Iqbaal selalu datang tepat waktu, mungkin seminggu ini (Namakamu) selalu mendapati Iqbaal tiba di sekolah lima menit sebelum jam pelajaran di mulai. Atau ketika pulang sekolah, Iqbaal akan lebih dulu keluar kelas dibandingkan teman-teman lainnya. (Namakamu) sudah pernah bertanya apa yang sedang laki-laki itu lakoni hingga membuatnya begitu sibuk. Namun yang ia dapatkan hanyalah sebuah gelengan dengan senyuman lebar menyebalkan khas seorang Iqbaal.
Perlahan tapi pasti, (Namakamu) melangkahkan kakinya melewati lorong kelas yang mulai ramai. Kedua tangan memegang erat tali tas yang melingkar kuat di kedua bahunya. Dagu terangkat dan pandangan lurus ke depan, perempuan itu berjalan dengan percaya diri hingga pada akhirnya sampai pada sebuah pintu kayu yang terbuka lebar.
Suara gaduh di iringi pekikan kepanikan adalah hal yang (Namakamu) dapati begitu kakinya melangkah masuk lebih dalam.
"Lagi pada ngapain nih?" Tanya (Namakamu). Sejenak menghentikan langkah di samping meja Evan dimana ada Nadira dan Caca sedang mengerjakan sesuatu disana.
"Ngerjain biologi." Nadira masih menulis ketika menjawab. "Lo udah belum? Liat dong, (Nam..)! Liat dikit aja kok." Pintanya begitu tahu (Namakamu) yang tadi bertanya.
"Ngg...udah sih. Tapi gue nggak yakin sama jawabannya." (Namakamu) membawa tasnya ke depan untuk memudahkannya menarik tuas resleting dan mengambil buku tugas biologi miliknya. "Nih. Sambil koreksi lagi ya. Kalo salah, jangan nyalahin!" Ujarnya sambil kembali menutup resleting tas.
"Sip dah! Terbaik emang ini temen gue!" Caca langsung mengambil alih buku (Namakamu) dengan wajah berseri-seri.
Meninggalkan Caca dan Nadira yang sedang menyalin jawaban miliknya, (Namakamu) melanjutkan langkahnya menuju bangku paling pojok dimana ia dan Iqbaal duduk sebagai teman sebangku. Dua kursi yang masih terangkat ke atas meja menandakan belum ada siapapun yang mendudukinya. Itu artinya Iqbaal belum datang ke kelas. Lagi-lagi (Namakamu) menghela napas.
Pelan-pelan (Namakamu) menurunkan bangku miliknya sebelum akhirnya ia menurunkan bangku milik Iqbaal hingga menapak sempurna pada lantai. (Namakamu) membenarkan letak kursi dengan isi kepala yang terus bertanya-tanya tentang keberadaan Iqbaal. Diam-diam (Namakamu) merasa kesal. Bahkan tanpa sengaja (Namakamu) melempar tasnya sedikit kasar ke atas meja karena perasaannya yang campur aduk memikirkan Iqbaal.
Iqbaal dan Iqbaal. (Namakamu) bingung kenapa ia harus susah payah memikirkan laki-laki itu? Iqbaal saja tidak pernah menanyakan apakah ia sampai dengan selamat ke rumah atau dengan siapa ia pulang. Sikapnya tidak lagi sepeduli dulu, yang akan bertingkah seperti pacar posesif ketika sedetik pun tidak diberi kabar. Sekarang (Namakamu) semakin yakin kalau Iqbaal memanglah tidak jatuh cinta padanya. Dan mungkin tidak akan pernah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Iqbaal
Fanfiction"I'm sorry, but you don't need to be chatty to get my attention. I love the way you being quiet, the way you smile, the way you care behind me..."