PART 3 - EMPTY SEAT

5K 717 34
                                        

Beruntung ketika hendak upacara tadi, Iqbaal sempat mengantarkannya lebih dulu ke kelas. (Namakamu) jadi tidak terlihat seperti keledai yang tersesat di habitatnya. Bahkan ketika upacara tadi saja, banyak mata yang memandangnya dengan aneh. (Namakamu) tidak tahu kenapa orang-orang-selain anak kelas-yang menatapnya begitu tajam. Apa mungkin keberadaannya disini begitu mencolok sampai-sampai banyak orang yang menyadari kalau ia adalah murid baru? Atau, mungkinkah ada yang melihatnya bersama Iqbaal, mengobrol di lorong tadi? Entahlah. Yang jelas, (Namakamu) harus mulai hati-hati sekarang.

Iqbaal bukanlah laki-laki sembarangan. Banyak pengagum rahasia di sekelilingnya. Kalau (Namakamu) lengah, sudah dapat dipastikan kalau hidupnya disini tidak akan aman. Baiklah. (Namakamu) harus mengingat-ingat itu mulai dari sekarang.

“Heyaaa, murid baru!”

Seorang perempuan menyapanya dengan riang. Lalu di belakangnya diikuti seorang temannya yang kini tersenyum padanya. “Hei...uhm..siapa tadi namanya?”

“Fika, gue Fika.” Katanya mengingatkan. Ah, iya, namanya Fika. Tadi Iqbaal menitipkan dirinya pada Fika ini ketika mengantarnya ke kelas. Iqbaal tidak mungkin ada terus bersamanya sedangkan ia sendiri harus mengontrol jalannya Masa Orientasi Siswa. “Gue duduk di belakang lo. Jadi kalo ada apa-apa, tinggal balik badan aja.” Tunjuknya ke belakang.

(Namakamu) mengangguk lalu terkekeh. Sekarang matanya bergilir menatap cewek di sebelah Fika. “Hai, gue (Namakamu).”

“Gue Nadira. Panggil aja Dira atau Nanad.” Katanya sambil melambaikan tangan.

Baiklah, hari pertamanya di sekolah baru berjalan dengan baik.

“Oh ya, lo nggak papa ’kan duduk disitu?” Tanya Fika. Melangkah menuju bangkunya yang terletak di belakang (Namakamu). Lalu duduk pada kursinya, diikuti oleh Nadira yang ternyata adalah teman sebangkunya Fika.

(Namakamu) mengernyit seraya memutar badannya menghadap ke belakang. Pertanyaan Fika tadi menyatakan sebuah ketidak percayaan. Memangnya siapa yang duduk disini? (Namakamu) hanya tahu kalau bangku ini kosong. Memang ada sebuah tas pada satu kursi yang lain. Tapi kata Fika tidak apa-apa jika ia duduk disini. “Nggak papa. Emang kenapa? Ada yang nempatin ya?” (Namakamu) balik bertanya.

Fika mengangguk lalu kembali berbicara. “Ada. Yang duduk di sebelah lo itu namanya Michella. Tapi suka dipanggil Icel sama anak-anak kelas.” Jelasnya. Tapi raut wajahnya berubah was-was “Gue cuma mau ngasih tau sama lo, jangan terlalu deket sama Icel tapi jangan terlalu jauh juga sama dia. Kalo terlalu deket, biasanya lo bakal dimanfaatin habis-habisan sama dia. Terlalu jauh juga bahaya. Soalnya dia ini mulutnya kelewat nyinyir, terus bisa dibilang dia ini anaknya agak nakal.” Fika menggerakan jari telunjuk dan jari tengah di tangan kanan dan kiri ke atas ke bawah.

“Lagi nih, dia juga punya...ya anggep aja namanya ‘geng’ di jurusan IPS gitu. Soalnya temen deket dia kebanyakan disana. Kalo ada yang agak aneh sama dia, siap-siap aja dinyinyirin ke temen satu gengnya. Pokoknya bakal gawat deh masalahnya.” Fika terlihat gusar. Mengingat teman barunya ini harus duduk satu meja dengan Michel, sedikit membuatnya khawatir.

Tanpa sadar matanya melirik kursi kosong di sebelahnya. (Namakamu) memang belum bertemu siapa teman sebangkunya itu. (Namakamu) juga tidak tahu apakah cewek bernama Michella itu ada ketika upacara. Tapi mengingat upacara tadi yang begitu kondusif, juga banyak wajah-wajah asing yang membuatnya tidak nyaman, mana sempat (Namakamu) mencari sosok yang bernama Michella itu. (Namakamu) terlalu sibuk menenangkan diri.

Sesaat penjelasan Fika tadi membuat ia sedikit cemas. Tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya. Lagipula, kalau selain duduk disini, dimana lagi (Namakamu) akan duduk? Tidak mungkin ’kan ia meminta satu paket meja dan kursi pada bagian humas hanya karena ia takut dengan teman sebangkunya? Hell. Sounds imposibble. Setidaknya (Namakamu) ingin membuktikan dulu ucapan Fika sebelum menduga yang tidak-tidak.

Love, IqbaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang