Sejak kejadian tidak menyenangkan tempo hari, banyak desas-desus mengabarkan kalau Michella pindah sekolah usai melaksanakan hukuman skorsing selama tiga hari. Iqbaal sendiri sebagai ketua kelas, belum bisa memastikan apakah kabar dikalangan anak-anak kelasnya itu benar terjadi. Belum ada konfirmasi pasti dari Bu Ina selaku wali kelas. Yang pasti, setidaknya (Namakamu) sudah merasa aman disini, bersamanya.
“Sekarang gue percaya maksud dari buah penantian yang panjang akan selalu indah.” Kata Adit ketika melihat dua sejoli yang duduk di belakang bangkunya dan terlihat akrab satu sama lain.
“Ngomong apaan sih, Dit? Dateng-dateng sok dramatis.” Cibir Iqbaal seolah tidak suka. Hanya saja merasa kebingungan dengan omongan Adit. Dari tadi Iqbaal sedang mengajarkan (Namakamu) yang tidak mengerti cara mengerjakan soal Fisika di buku paket. Karena sekarang perempuan itu adalah teman sebangkunya, Iqbaal akan membantunya. Walaupun Iqbaal akan tetap membantu meski (Namakamu) bukan teman sebangkunya.
Adit mendorong kursi hingga mepet dengan meja depan Iqbaal. Kemudian melebarkan kakinya dan duduk dengan posisi terbalik, menghadap ke arah Iqbaal dan (Namakamu). “Ya lo berdua itu. Gue ngomongin lo berdua.” Dagu Adit menunjuk Iqbaal dan (Namakamu) bergantian. Sementara yang ditunjuk hanya mengangkat sebelah alis.
(Namakamu) yang kebingungan akhirnya buka suara. “Emang kenapa, Dit, sama kita berdua?”
Adit menjentrikan jarinya tepat di depan wajah (Namakamu). “Cakep! Pas banget lo nanya!”
Ulah iseng Adit tersebut membuat (Namakamu) terkejut. Matanya berkedip-kedip karena Adit menjentrikan jari tepat di depan wajahnya.
“Gue ceritain ya, (Nam..). Dulu nih, si Iqbaal ini tuh sebangku sama yang namanya Evan,”
“Tapi karena jumlah siswa cowok ganjil, makannya ada yang duduk sendiri dan malah nggak terima. Akhirnya Iqbaal milih buat duduk sendiri biar nggak ada yang ribut masalah temen sebangku, gitu ’kan?”
Baik Adit dan Iqbaal sama-sama terkejut dengan ucapan (Namakamu). Tiba-tiba saja perempuan itu menyela perkataan Adit dan mejelaskannya sendiri dengan detail seolah memang sudah tahu semua. Fika pernah menceritakan ini sebelumnya. Jadi daripada Adit membuang waktu lama untuk bercerita, lebih baik (Namakamu) potong supaya lebih efisien.
“Nah tuh lo tau!” Adit mengangkat telunjuknya ke udara mengarah pada (Namakamu) dengan badan sedikit condong ke belakang dan sebelah tangan lainnya berpegangan pada sandaran kursi.
“Tau dong. Fika dulu pernah cerita.” Jawabnya polos.
Sementara Iqbaal terkekeh lalu menepuk bahu Adit. “You know what girls do, Man. Just don’t be shock!”
“Cewek tuh ya, tingkat kecepatan menyebarkan gosip di kelas secepet jaringan 4G emang. Gue malah ragu. Kayanya mereka punya jaringan sendiri, lebih-lebih dari 4G.” Decak Adit. “Dasar!”
Mengabaikan Adit, pandangan Iqbaal sekarang mengarah pada (Namakamu) sambil kembali memegang pensil yang tergeletak di atas lembar buku paket yang terbuka seraya melirik pekerjaan (Namakamu) di buku tulisnya sendiri. “Gimana? Udah ngerti belum?” Sesaat matanya meneliti pekerjaan (Namakamu) kalau-kalau perempuan itu salah memakai rumus.
“Eh iya, bisa diulangin lagi nggak? Lupa lagi sama yang elo jelasin tadi. Hehe.” (Namakamu) tertawa nyengir ke arah Iqbaal.
Laki-laki itu hanya menggeleng kepala dan tertawa kecil. “Boleh. Yang ini...Eh, Dit, lo minggat aja bisa nggak sih?”
“Kenapa? Dari tadi gue diem, enggak lari-larian di kepala lo.”
“Eh si Adit!” Iqbaal berdecak lalu terdengar tawa Adit yang berancang-ancang hendak pergi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Iqbaal
Fanfictie"I'm sorry, but you don't need to be chatty to get my attention. I love the way you being quiet, the way you smile, the way you care behind me..."