Sore itu langit sedang tidak bersahabat dengan cahaya mentari. Hujan turun begitu deras. Suaranya yang berisik saat berbenturan dengan aspal, mengganti suasana hening yang ada. Bagai alunan musik tak bernada. Menciptakan sebuah suasana yang tenang nan tegang.
Menunggu hujan reda adalah hal yang sejak tadi (Namakamu) lakukan. Duduk di pos satpam yang mengarah langsung ke parkiran depan sekolah, membuat (Namakamu) dapat melihat secara langsung bagaimana ganasnya hujan sore ini. Bukan hanya debitnya yang berjumlah banyak, petir pun sedang ingin berkawan rupanya. Sesekali kilatnya muncul begitu terang. Membuat (Namakamu) mau tak mau semakin rapat dengan Iqbaal yang duduk di sebelahnya. Lalu bersembunyi pada lengannya yang terlapisi sweater tebal.
“Takut hm?” Iqbaal terkekeh.
(Namakamu) mengangguk singkat lantas menggumam. “Mau ke dalem, tapi ujannya deres.”
Iqbaal mengubah posisi lengan kanannya yang berada di depan tubuh (Namakamu) hingga terlihat sedang mengurungnya. “Yaudah disini aja. Di dalem pasti rame, banyak orang. Disini cuma berdua.”
“Modus!” (Namakamu) tersenyum sambil memukul pelan lengan Iqbaal. “Tau-tau Pak Satpam ada di dalem lagi. Malu deh kita kalo ketauan!”
“Nggak papa. Berdua ini.”
Kembali, (Namakamu) memukul lengan Iqbaal. “Rese!”
Untuk sesaat hanya terdengar suara kekehan seorang Iqbaal. Saat yang sama ketika (Namakamu) tersenyum senang mendengar kekehan yang terdengar merdu di telinga. Favoritnya. Lantas (Namakamu) semakin mengeratkan rengkuhan tangannya di seputaran lengan Iqbaal. Rasa hangat pun perlahan menjalar pada tubuhnya yang tak memakai baju hangat apapun selain memakai seragam.
“Gimana sama Om Adrian?”
(Namakamu) terdiam begitu mendengar Iqbaal menyinggung soal Papanya. “Gimana apanya?”
Iqbaal menoleh. “Masih pengen kamu ikut beliau tinggal bareng keluarga barunya?”
Entah kenapa (Namakamu) kembali galau mendengar pertanyaan Iqbaal. “Masih. Tadi pagi sempet nanyain aku lagi.”
“Terus?”
“Ya...nggak aku jawab.” (Namakamu) membuang napas berat. Menjatuhkan kepalanya untuk bersandar nyaman pada bahu Iqbaal. Mencari kehangatan. “Aku takut, Baal. Aku takut kalo istri baru Papa nggak nerima aku disana. Yeah I know nggak semua yang namanya ibu tiri selalu jahat. But who knows. Apalagi meninggalnya Eyang begitu mendadak. Semuanya begitu mendadak. Aku perlu waktu buat mikirin semuanya. I don’t want to get hurt anymore.”
Di akhir penjelasan (Namakamu), Iqbaal tersenyum hangat. Mendaratkan bibirnya pada pucuk kepala (Namakamu) yang bersandar di bahunya untuk memberikan sebuah kecupan singat. Lalu ikut menumpu kepalanya disana, seolah ingin merasakan semua risau yang tengah perempuan itu rasakan. Iqbaal mau (Namakamu) berbagi semuanya supaya terasa lebih ringan.
“Take your time, Sweet. Don’t confess to fast.” Iqbaal memejamkan mata. Menghirup dalam-dalam aroma khas hujan turun yang menenangkan bercampur harum tubuh (Namakamu) yang menjadi candunya. “Nggak salah kalo kamu mau ngasih Om Adrian kesempatan kedua. Juga, emang nggak gampang. Tapi, kenapa nggak dicoba? Lagian aku yakin Om Adrian udah sangat belajar dari kesalahan kemari. He regreted it right?”
Kepala (Namakamu) mengangguk-angguk pada bahu Iqbaal. “Bukan cuma itu yang aku takutin sebenernya.”
Hela napas yang terdengar di telinga, mengubah posisi Iqbaal yang semula menyender pada kepala (Namakamu), kembali duduk tegak.
“Apa?”
(Namakamu) turut mengubah posisinya hingga kini matanya saling berpandangan. “Hubungan kita. Aku takut kalo nanti aku ikut sama Papa, sama aja aku harus jauh dari kamu. Domisili Papa bukan disini lagi.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Iqbaal
Fanfiction"I'm sorry, but you don't need to be chatty to get my attention. I love the way you being quiet, the way you smile, the way you care behind me..."