“Oh, shit!”
Iqbaal benar-benar tidak menyadari apa yang ada di depannya setelah Dewa melayangkan kepalan tangannya tepat di bagian perutnya. Rasa sakit itu menjalar seiring tubuhnya yang ambruk pada matras. Iqbaal meringis. Memegangi perutnya yang terasa berdenyut nyeri karena mendapat tinjuan cukup kuat dari Dewa.
“Oh, man!” Dewa berjongkok, memegangi pundak Iqbaal supaya laki-laki itu terlentang dan menemukan ekspresi kesakitan di wajahnya. “Gue bener-bener nggak sengaja, Baal. Sorry. Gimme your hand!”
Dewa sudah meletakan tangannya ke belakang bahu Iqbaal yang sedikit terangkat untuk membantu sohibnya itu keluar dari arena latihan. Tapi Iqbaal menghentikan aksi Dewa dengan memegangi lengannya dan menjauhkan tangan Dewa dari bahunya. “Nggak papa, bro! Nggak papa.” Sambil sesekali meringis dan mencoba duduk tanpa melepaskan telapak tangannya dari perut. “Cuma nyeri dikit.”
“Serius? Atau gue panggilin Sensei biar...”
Iqbaal menggeleng keras. “Bantu gue berdiri, Wa.”
Dewa membantu Iqbaal yang masih meringis kesakitan itu untuk berdiri. Meski laki-laki itu sudah berkata tidak apa-apa, tapi Dewa masih tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Iqbaal tentu tidak baik-baik saja. Dan dia tahu itu. “Sumpah, Baal. Kalo lo kenapa-napa bilang aja. Udah H-min berapa coba ini?” Katanya panik.
“Udah santai!” Iqbaal menepuk bahu Dewa sambil terkekeh pelan. ”Kena bogem gini doang mah, kecil.”
“Blagu lo!” Dewa balas tertawa. “Lagian udah di arena tanding, masih aja sempet-sempetnya ngelamun. Mikirin apaan sih? Bukannya jabatan ketos lo udah lengser ya?” Tanyanya.
Iqbaal pun merasa heran dengan dirinya sendiri. Bingung yang tidak berujung dan telak tak mendapatkan jawaban. Ini mungkin sudah kesekian kalinya sejak seminggu terakhir Iqbaal tidak fokus akan satu hal. Rasanya Iqbaal seperti satu-satunya manusia yang paling banyak dirundung masalah daripada manusia-manusia lainnya di muka bumi ini. Dan bukan dirinya sekali melamun di saat-saat penting seperti ini.
“Belum. Ntar, akhir bulan.” Iqbaal menggeleng. Padahal Dewa masih satu sekolah dengannya, hanya jurusannya saja yang berbeda.
“Gue kira udah.” Dewa mengusap belakang kepalanya. “Mau latihan lagi nggak nih?”
“Ayo dah!” Iqbaal merangkul bahu Dewa untuk kembali ke posisi mereka sebelumnya.
“Yakin lo nggak papa?”
“Lebay lo ah. Gue cowok, kaga letoy kena bogem dikit langsung nggak bisa ngapa-ngapain!” Seru Iqbaal dengan nada tinggi. Agak kesal sih sebenarnya.
Lagi-lagi Dewa tertawa. “Hahaha setan!”
oOo
Sudah lewat 3 hari sejak insiden Dewa memukul perutnya secara tidak sengaja. Atau mungkin lewat 2 hari sejak Dewa lagi-lagi tidak sengaja meninjunya, kali ini di bagian pipi kiri. Yang lantas membuat Iqbaal keheranan kalau-kalau Dewa-lah yang justru tidak fokus karena sampai dua kali meninjunya tanpa sengaja. Meski tidak terlalu keras, tapi masih menyisakan sedikit lebam di area pipinya. Hanya sedikit. Namun akan terlihat jelas jika dilihat dari jarak dekat.
Hari ini Iqbaal sengaja berangkat lebih pagi untuk mengambil berkas-berkas penting di ruang OSIS. Apalagi kalau bukan tentang pemilihan ketua OSIS yang hanya tinggal beberapa hari lagi. Tentu saja Iqbaal harus memiliki tenaga ekstra untuk memastikan kalau semuanya berjalan lancar. Meski sebenarnya Iqbaal ragu kalau dirinya berhasil. Karena akhir-akhir ini, Iqbaal merasa dirinya kurang prokdutif selama di sekolah. Entah itu dalam kelas, maupun organisasi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Iqbaal
Fiksi Penggemar"I'm sorry, but you don't need to be chatty to get my attention. I love the way you being quiet, the way you smile, the way you care behind me..."