Tidak ada yang lebih menyedihkan selain kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup.
Dulu, (Namakamu) tidak pernah tau bagaimana rasanya kehilangan seseorang untuk selamanya. Ketika tahu wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini sudah tiada, sama sekali tidak ada perasaan sedih dalam dada. Karena saat itu (Namakamu) masih terlalu kecil untuk mengerti bagaimana rasanya kehilangan. Tapi semakin dewasa, perempuan itu mulai paham bagaimana hampanya hidup tanpa seorang Ibu. Saat teman-teman sebayanya bercerita tentang kasih sayang dan perhatian Ibu mereka, (Namakamu) hanya diam dan mendengar. Tidak tahu harus berbicara apa. Bingung harus bercerita apa.
Lalu, belum rasa hampanya pergi, perempuan itu harus mendapat kenyataan pahit lain dimana dirinya harus tinggal berdua dengan Eyang saja. Ayahnya, laki-laki yang seharusnya (Namakamu) panggil ‘Papa’ sejak dulu, justru ikut menghilang bahkan tak tahu berada dimana. (Namakamu) merasa sendiri. Merasa tidak berguna bahkan hidup pun tidak ada artinya. Orang tuanya pergi. Ayahnya mungkin masih di bumi. Tapi (Namakamu) sama sekali tak berharap beliau akan kembali. Jika pulangnya hanya untuk meninggalkan dirinya sendiri lagi.
Usai pemakaman, tidak ada rencana lain kecuali mengurung diri di kamar. Mungkin sudah ketiga kalinya Bi Imas mengetuk pintu kamar hanya untuk menyuruh (Namakamu) keluar dan mengisi perutnya. Yang sayangnya tidak mendapat balasan apapun selain menyingkir dari pintu kamarnya. (Namakamu) kelaparan. Tapi rasa laparnya ini tidak sebanding dengan rasa sedihnya. (Namakamu) masih tidak percaya. Eyangnya pergi. Meninggalkan (Namakamu) sendiri. Menyusul Mamanya pergi ke atas sana. Hidup dalam kebadian.
Sementara (Namakamu) masih harus melanjutkan hidup. Memperbaiki nasib ditinggalkan orang terkasihi. Yang ingin dia lakukan saat ini hanyalah menangis. Meluapkan semua emosi saat merasa takdir begitu jahat membiarkannya menjalani hidup seorang diri. Mungkin masih ada Om Adi. Tapi tidak mungkin Omnya itu tinggal terus-menerus disini ketika istri dan anaknya berada di Bandung. Mungkin juga masih ada Bi Imas, yang (Namakamu) harap masih mau bekerja disini, menemaninya di rumah yang teramat besar ini. Termasuk Pak Iman. Jujur, (Namakamu) tidak tahu harus bagaimana sekarang.
Dia merasa sendiri. Rapuh. Patah. Jatuh begitu dalam hingga rasanya tak ada jalan untuk keluar.
“(Nam..), ini aku, Iqbaal. Buka ya pintunya? Aku mau bicara.”
Ah, Iqbaal. (Namakamu) lupa kalau dirinya masih punya Iqbaal. Laki-laki yang sejak kemarin tidak pernah absen dari sisinya. Laki-laki yang menawarkan bahunya untuk bersandar. Merentangkan tangan untuk membuatnya tenang dalam pelukan. Bahkan menyeka air matanya yang semakin deras mengalir saat melihat Eyang untuk yang terakhir kalinya sebelum ditimbun tanah.
Saat (Namakamu) berpikir Iqbaal akan pulang seiring kepergian para pelayat dari rumahnya usai pemakaman, ternyata laki-laki itu masih disini. Masih di depan pintunya. Lalu mengetuknya dan memanggil namanya dari luar.
“(Nam..)? Keluar ya? I need to see you, Sweety. I’m getting worried on you.”
Dengan tubuh lemas, tak berdaya karena terlalu banyak menangis, (Namakamu) memutuskan beranjak dari kasur seraya menyeka air matanya yang masih saja keluar. Rasa-rasanya tidak etis mengabaikan Iqbaal begitu saja hanya karena dirinya masih dilanda kesedihan. Mengingat kebaikan dan perhatian yang Iqbaal berikan padanya. (Namakamu) benar-benar tidak tega membiarkannya berdiri di depan pintu terlalu lama. Membuatnya tersadar jika (Namakamu) sendiri pun sudah terlalu lama berdiam diri di dalam kamar. Tanpa melakukan apapun selain menangis seraya memandangi foto Eyang.
Begitu pintu terbuka, hal yang pertama kali (Namakamu) lihat adalah sebuah senyuman. Laki-laki yang memakai kemeja hitam berikut celana berwarna senada, memberikan senyum penuh kelegaan di bibirnya. Entah kenapa, rasanya sedikit membuat (Namakamu) tenang meski itu belum cukup untuk menghilangkan kesedihan yang tengah merundungnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Iqbaal
أدب الهواة"I'm sorry, but you don't need to be chatty to get my attention. I love the way you being quiet, the way you smile, the way you care behind me..."