PART 23 - MESSAGE

3.2K 601 25
                                        

Kata Tante Rike, Iqbaal sudah berangkat ke Bandung pagi-pagi sekali. Tentu saja (Namakamu) tidak tahu karena saat Iqbaal pergi, dia masih betah membenamkan diri dalam selimut. Masih asyik mengarungi alam mimpi. Meski kelihatannya (Namakamu) biasa saja mendegar Iqbaal sudah pergi, dalam hati kecilnya, ada sedikit rasa kesal tidak mampu mengantar kepergian Iqbaal. Tapi mau bagaimana lagi? Setidaknya jauh sebelum hari ini datang, Iqbaal sudah berpamitan dulu padanya dan (Namakamu) rasa itu sudah cukup.

“Tante, aku berangkat dulu ya?” Begitu sarapannya selesai, (Namakamu) langsung menghampiri Tante Rike yang sedang mencuci piring di dapur untuk berpamitan sekaligus mencium tangannya.

“Naik apa, sayang, ke sekolahnya? Mau Bunda anter?”

Oh iya. (Namakamu) lupa kalau mulai hari ini, dia tidak boleh lagi memanggil ‘Tante’. Maklum, belum terbiasa.

“Hehe. Nggak usah, Bunda. Aku pesen ojek online aja.” Tolaknya halus sambil menunggu Bunda Rike yang hanya tinggal mencuci tangan lalu mengelapnya dengan serbet yang menggantung tak jauh dari sana.

“Lho? Nggak papa. Bunda sekalian mau pergi ke pasar. Kamu suka makan ayam rica-rica ’kan? Nanti sore, Bunda masakin itu buat kamu. Kalo ada Ale, pasti semua dia habisin tuh.” Bunda Rike berjalan ke sisi lain dapur untuk merapikan corner-corner yang kelihatannya masih berantakan.

“Oh iya, Bun?” respon (Namakamu) antusias.

“Iya. Malah kalo ada Tetehnya, apalagi Ayahnya, nggak bisa deh beli ayamnya cuma sekilo. Harus dua kilo!” Kata Bunda Rike lagi seraya geleng-geleng kepala. “Udah kaya mau hajatan aja Bunda tiap masakin mereka.”

“Seru ya, Bunda?” (Namakamu) tersenyum pedih. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan rumahnya saat ini. Sepi, sendiri, tidak ada orang. Hanya ada Eyang dan Bi Imas saja yang meramaikan rumah. (Namakamu) cenderung pendiam bahkan ketika di rumahnya sendiri.

Dia ingin situasi rumah yang ramai seperti ini. Pantas Iqbaal selalu betah diam di rumah.

“Serunya kelewat banget! Haduh. Makannya, kamu sering-sering nginep disini ya? Ale paling seneng kalo punya temen ngobrol. Sama Tetehnya boro-boro diajakin ngobrol. Diisengin terus yang ada.” Lagi-lagi Bunda Rike terkekeh. Merasa heran dengan kelakuan anak bungsunya itu.

“Hehe. Iya, Bunda. Iqbaal sebenernya sering ngajakin nginep disini juga. Tapi akunya yang nggak enak. Kasian juga Eyang kalo harus tinggal sendiri di rumah.”

Sesaat Bunda Rike memutar badan menghadapnya. “Aduh...iya! Bunda sampe lupa ’kan sama Eyang.“ Dengan ekspresi terkejutnya. ”Maaf ya, sayang. Bunda agak excited aja ketemu anak perempuan yang sebayaan sama Ale. Berasa anak sendiri. Eyang apa kabar, sayang? Nggak papa kamu tinggal nginep disini?”

“Alhamdulillah baik, Bunda. Eyang lagi di Bandung kok sekarang, di rumah adeknya Papa. Katanya minggu atau senin baru pulang.”

“Malah kamu yang sebenernya ditinggal ya?” Bunda Rike terkekeh lagi. “Oh iya...gimana? Bunda anterin ya? Keasyikan ngobrol nih, sampe lupa kamu harus sekolah.”

“Yaudah deh, Bunda. Boleh.“ (Namakamu) menunduk malu seraya menyelipkan rambutnya ke belakang telinta. ”Maaf ya Bunda ngerepotin.”

“Aduh, nggak papa. Bunda malah seneng bisa nganterin kamu ke sekolah. Si Ale mana mau dia dianterin Bunda. Katanya nggak mau diledekin anak mami.” Sesaat, gelak tawa keduanya terdengar. “Bentar ya. Bunda mau ganti baju dulu. Kamu tunggu di ruang tamu, apa ruang tv juga boleh, terserah. Bunda nggak lama kok.”

(Namakamu) mengekori Bunda Rike keluar dari dapur, menuju ruang tengah, tempat dimana mereka berpisah.

“Iya, Bunda.”

Love, IqbaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang