PART 24 - WARM

3.3K 600 33
                                        

MAAF GUYS TADI ADA KESALAHAN TEKNIS:(

oOo

Teringat akan tugas kelompok sejarah esok senin, (Namakamu) lantas bersiap-siap untuk datang dan mengerjakan tugas kelompoknya itu di rumah Inka. Kebetulan, (Namakamu) memang satu kelompok dengan salah satu teman akrabnya di kelas. Sisanya tidak terlalu dekat. Dan kalau tidak salah, (Namakamu) juga satu kelompok dengan Tristan. Baiklah. Sepertinya kerja kelompok kali ini akan seru. Karena biasanya (Namakamu) selalu menghindari yang namanya kerja kelompok.

Judulnya saja bekerja secara kelompok. Pada akhirnya ketika bertemu, yang mengerjakan tugas hanya orang-orang tertentu saja atau kadang malah mengobrol bukannya mengerjakan tugas. Alhasil, tugas tidak selesai, membuang waktu iya. Makannya (Namakamu) lebih suka bekerja sendiri. Atau berdua dengan Iqbaal.

Mematut diri di depan cermin, (Namakamu) mendadak tersenyum saat nama Iqbaal tak sengaja terlintas di pikirannya. Seharusnya hari ini Iqbaal pulang, kalau tidak ada perubahan jadwal. Laki-laki itu juga tidak mengiriminya pesan lagi. Tidak juga missed call. Atau upaya apapun untuk menghubunginya. (Namakamu) sedikit kecewa. Tapi juga tahu diri kalau Iqbaal disana bukan untuk bersenang-seneng. Sempat berpamitan padanya dan mengirim sebuah pesan berkalimat panjang saja (Namakamu) sudah merasa lega. Seolah pesan yang (Namakamu) terima ketika sedang di kelas itu, mampu membuatnya bertahan bersama rindu selama berhari-hari.

Ah! (Namakamu) tersenyum. Menyisir rambut hitamnya yang mulai memanjang dengan satu gerakan lembut ke bawah. Begitu mudah untuk membuatnya rapi kembali. Tapi tidak dengan perasaan (Namakamu) yang begitu berantakan. Susah payah dirinya mempertahankan perasaannya supaya tidak berceceran seperti buku-buku pelajarannya di atas meja saat sedang belajar di kelas. Lalu Iqbaal datang. Memporak porandakan hatinya begitu hebat. Sampai (Namakamu) tidak tahu cara mengakhirinya.

Hingga kemudian (Namakamu) sadar kalau apa yang terjadi adalah cara Iqbaal untuk bisa sampai ke hatinya, menetap di hatinya.

Memikirkan Iqbaal membuat hatinya menghangat. Kalau saja bukan karena getaran singkat yang datang bertubi-tubi dari balik saku celana jeans yang dipakainya, mungkin (Namakamu) akan betah berlama-lama di depan cermin sambil memikirkan Iqbaal. Konyolnya.

Setelah mengambil tas slempang yang tergeletak di atas kasur, (Namakamu) menatap layar seraya berjalan keluar dari kamar yang beberapa hari ini menjadi tempatnya menginap. Kamar dimana sang pemilik ingin (Namakamu) tidur disana, entah untuk alasan apa. Tapi (Namakamu) cukup terkesan untuk itu.

“Bunda,”

Berpijak pada anak tangga terakhir, saat itulah bola mata (Namakamu) menemukan sosok Bunda Rike sedang duduk santai seraya menonton acara televisi. (Namakamu) pikir, setelah sarapan, Bunda Rike akan pergi arisan bersama teman-temannya. Mengingat, ini hari Sabtu dan rasanya membosankan jika diam di rumah saja.

“Eh, kok udah cantik aja sih? Mau kemana, sayang?”

(Namakamu) tersenyum saat Bunda Rike menyadari kehadirannya. Sejenak duduk pada sisi sofa yang kosong di sebelah Bunda Rike untuk berpamitan. “Mau ke rumah temen dulu, Bunda. Ada tugas kelompok. Terus harus dikumpulin hari senin.”

“Mau Bunda anter?”

“Nggak usah, Bunda!” (Namakamu) menggeleng. Lalu beranjak dari duduknya, berdiri di depan Bunda Rike dengan posisi membungkuk dan mengulurkan tangan. “Bunda di rumah aja. Repot nanti kalo harus anterin aku dulu. Udah pesen Gojek juga kok, Bun. Kasian kalo di cancel.” Katanya. Dan segera mencium punggung tangan Bunda Rike begitu empunya menyodorkan tangan kanannya.

Bunda Rike tersenyum. “Yaudah. Hati-hati ya, sayang.”

“Iya, Bunda.”

“Nanti Bunda kabarin kalo Ale udah pulang. Harusnya hari ini pulang dia. Tapi nggak ngerti juga Bunda. Ale ngabarin kamu lagi nggak? Siapa tau sama tunangan sendiri, selalu kasih kabar.” Ujar Bunda Rike. Yang kalau (Namakamu) pikir, lebih sedang menggodanya daripada bertanya.

Love, IqbaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang