PART 32 - APPEARS

3.4K 573 91
                                    

Memasuki semester baru di bangku sekolah, rasanya seperti mimpi. Tidak terasa dan ketika sadar, ternyata sudah berlalu begitu cepat.

Ketika yang lain masih bisa merasakan free class di awal minggu pertama masuk sekolah, khusus untuk kelas dua belas sepertinya dikecualikan. Mengingat, kegiatan belajar kondusif mereka tidak lebih dari empat bulan, maka para guru pun dihimbau untuk segera menyelesaikan materi yang ada sebelum akhirnya berbagai ujian datang menghadang. Finalnya adalah ujian nasional. Satu hal yang sampai saat ini masih menjadi momok bagi para pelajar.

Selain itu, para murid di semester akhir bangku SMA inipun akan menjadi momen penentuan. Momen dimana mereka akan mulai berpikir untuk memilih jurusan mana yang akan mereka ambil untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah pasti, itu artinya tidak boleh main-main lagi. Masa depan sudah berada di depan mata. Jangan sampai salah memilih jurusan yang pada prinsipnya secara tidak langsung menentukan pula jenis kehidupan yang akan kita lalui di masa depan nanti. Sungguh beban.

“Baal, kamu SNM nanti mau ambil kemana?” Pada jam istirahat siang itu, (Namakamu) yang sengaja pergi ke kantin untuk mengisi perut, bertanya pada Iqbaal yang tentu saja ikut menemani momen makan siangnya. Sambil duduk berhadapan pada meja kantin panjang, dua sejoli itu sibuk menghabiskan makanan masing-masing tanpa mengabaikan keberadaan satu sama lain. Seperti (Namakamu) yang usai menelan habis bakso di mulut, langsung melemparkan pertanyaan pada Iqbaal seraya bertupang dagu. “Aku masih bingung nih. Nggak tau juga bakat dan minatku dimana.” Ujarnya berkeluh kesah.

Sesaat, laki-laki dengan mangkuk yang hanya tersisa kuahnya saja itupun, meletakan sendok lalu mengambil selembar tisu pada tempatnya untuk mengelap sudut bibirnya yang terasa basah. Kemudian menatap (Namakamu) untuk menjawab pertanyaannya. “Rencana mau ambil teknik sipil. Univnya dimana masih belum tau. Terus pas kemarin ngomong sama Ayah, ternyata Ayah pengen aku ambil kedokteran, sama kaya Teteh. Kalo Bunda sendiri sih fine-fine aja aku mau ambil kemana, asal sesuai bakat sama minat. Jadi...belum tau juga fixnya bakal kemana. Sementara itu dulu.”

Jawaban panjang lebar Iqbaal, membuat (Namakamu) mencebikan bibir bawahnya.

“Kamu enak sih. Pinter. Prestasinya banyak. Mau daftar kemana-mana juga diterima. Nggak kaya aku.” Katanya pesimis.

Iqbaal tertawa. “Jangan gitu dong, sayaaang! Kamu juga pinter. Buktinya kemarin dapet rangking dua ’kan?”

“Lagian aku bingung mau ambil jurusan apa!” Gerutunya kesal.

“Sini deh, aku kasih tau tipsnya.” Iqbaal menyingkirkan mangkok di depannya supaya bisa lebih dekat dengan (Namakamu). “Pertama, yang harus kamu lakuin itu berpikir. Oke I know tanpa disuruh pun kamu pasti mikir. Tapi yang aku maksud, kamu mikirin satu jurusan aja yang kebetulan lagi nyangkut di kepala kamu. Terus bayangin, kalo kamu masuk kesitu, kamu bakal betah nggak disana? Bakal bisa nggak lewatin satu persatu mata kuliahnya? Yang paling penting, sesuai nggak sama kemampuan kamu? Kaya misalnya, kamu ambil FMIPA. Udah pasti bakal ketemu eksak mulu ’kan? Nah, kamu sanggup nggak ketemu terus sama rumus dan angka? Kalo enggak, udah, jangan dipilih. Cari lagi jurusan lain sampe akhirnya kamu yakin, this major absolutely deserves for me.”

“Hmm...” (Namakamu) tampak bepikir. Menelaah baik-baik apa yang baru saja Iqbaal katakan.

“Oh iya satu lagi!” Seru Iqbaal hingga atensi (Namakamu) kembali mengarah padanya. “Milih jurusannya jangan ngikutin gengsi ya! Aku nggak mau kamu nyesel. Cuma karena kamu gengsi, terus milih jurusan di cluster paling tinggi tapi nggak sesuai sama kemampuan kamu, malah jadi boomerang ’kan buat kamu sendiri?”

(Namakamu) mengangguk membenarkan.

“Nah, mending yang biasa aja. Tapi sesuai sama kemampuan kamu. Hidup tuh kamu yang pilih. Bukan orang lain. Orang mau bilang apa, jangan didengerin. Toh kalo kamu bisa fokus sama apa yang kamu jalani, yang namanya kesuksesan nggak akan kemana, (Nam..). Inget itu aja, oke? Aku tau kamu bisa. Jangan pernah pesimis sama diri sendiri cuma karena omongan orang. You’re not that weak, Sweet. I know you always able to do anything.”

Love, IqbaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang