Hari ini begitu panas meski jarum jam di tangan masih menunjukan pukul sembilan. Entah harus bersyukur atau tidak karena ketidakhadiran Pak Tamam sebagai guru olahraga justru membuat-khususnya-anak perempuan bisa berdiam di sisi lapang. Menghindar dari sinar mentari pagi yang begitu menyengat juga keringat yang mungkin muncul barang melakukan aktivitas di tengah lapang yang tersorot sempurna oleh sinarnya.
Beda anak perempuan, beda lagi dengan anak laki-laki. Bahkan ketika mereka selesai berganti baju dengan pakaian olahraga begitu cepatnya, seluruh lapangan langsung mereka kuasai untuk bermain futsal sampai baju-baju mereka yang kering dan segar itu basah seluruhnya oleh keringat. Pemandangan seperti itu bukannya membuat anak-anak cewek berteriak histeris, melainkan meringis jijik melihat anak-anak cowok kelas mereka yang meneteskan keringat begitu banyak.
“Gue heran deh sama anak-anak cowok. Nggak panas, nggak ujan, tetep aja diterjang buat main futsal. Faedahnya apa sih? Gue malah kasian sama nyokap-nyokap mereka yang harus nyuciin baju olahraga anaknya full sama keringat.” Mengambil sisi lapangan lain yang berbeda dengan teman-teman cewek untuk berteduh, Inka memberi komentar seiring matanya yang terus memandangi pergerakan anak cowok bermain futsal di lapangan sekolah yang cukup luas.
“Tau deh! Survey sendiri sana, Ka, tanyain satu-satu.” Balas Nadira sekenanya. Cewek itu juga ikut memperhatikan permainan futsal secara cuma-cuma.
Tak mau kalah, Caca yang duduk bersila sambil bermain handphone itu ikut berkomentar. “Gue sih ogah ya kalo harus olahraga panas-panas gini kecuali ada gurunya. Nggak tahan keringetannya gue. Takut it-ADUHH!”
Ucapan Caca terhenti bersamaan dengan handphone di tangan yang jatuh ke tanah karena terjangan bola yang entah berasal darimana. Dengan kesal, cewek itu mengambil bola yang menggelinding tak jauh dari tempatnya lalu memandang kesal Tristan yang sedang berjalan ke arahnya dengan cengiran penuh sesal.
“ELO YANG NENDANG?!” Tanya Caca marah.
Tristan meringis pelan sambil mengusap belakang kepalanya. “Duh sorry, Ca. Nggak sengaja gue. Beneran!”
“KALO NGGAK BISA NENDANG YANG BENER, NGGAK USAH MAIN FUTSAL DONG! KALO TADI YANG KENA KEPALA GUE, GIMANA HAH? MAU LO TANGGUNG JAWAB?!” Caca masih marah-marah tanpa peduli nada suaranya yang sudah meninggi.
“Aduh, udah deh, Ca! Jangan teriak-teriak gitu. Ntar disamperin wakasek, bisa gawat, Ca!” Fika yang duduk tidak jauh dari tempat Caca berdiri, menarik-narik pelan celana olahraga selutut milik Caca sambil meminta temannya itu untuk tidak lagi marah-marah.
“Iya, Ca. Maaf ya. Gue bener-bener nggak sengaja!” Tristan mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Lalu sekilas melirik handphone yang tergeletak begitu saja di tanah seolah telah terjadi sesuatu pada benda pipih tersebut. “Handphone lo rusak nggak? Kalo rusak, biar gue ganti.”
“TRISTAN, CEPETAN WOY! LO NGAMBIL BOLA APA MAU PACARAN?”
Terdengar pekikan di belakang sana yang tidak lain dan tidak bukan adalah suara Benu. Terlihat juga teman-teman lain yang sudah menunggu dirinya mengambil bola untuk kembali melanjutkan permainan futsal.
Sejenak, Tristan menoleh dan balas berteriak. “PAKE BOLA LAIN KALO MAU LANJUT! BRISIK LO!”
“Sumpah, Ca, gue...”
“LO IKUTAN NGGAK?” Tanya Benu lagi dengan teriak.
Kali ini Tristan kesal dan membalikan badan. “GUE OUT! GANGGU LO BENUA AFRIKA!”
Melihat adegan Tristan yang saling balas teriak dengan Benu itu membuat Caca semakin menyipitkan mata. “Pokoknya gue nggak akan maafin lo segampang itu. Titik!”

KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Iqbaal
Fanfiction"I'm sorry, but you don't need to be chatty to get my attention. I love the way you being quiet, the way you smile, the way you care behind me..."