September, 2003
Sore yang kelam, gumpalan awan cumolonimbus menyelimuti sebagian besar wilayah pegunungan di sebuah kota kecil di Pegunungan Smokey Mountains. Rintikan hujan pun turun dari langit dengan kerapatan tinggi turun begitu saja membasahi bumi. Suara gelegar dengan beberapa kali kilasan cahaya putihpun saling bersahutan memberikan kesan menakutkan bagi sebagian besar anak-anak pada umumnya, namun tidak bagi 4 remaja lelaki itu.
Seorang anak lelaki dengan rambut acak-acakan masih terus-menerus meninju samsak yang tergantung pada langit-langit. Bercak darah tercetak jelas pada kain kusam pembungkus samsak. Diabaikannya rasa perih saat kulitnya yang terkelupas bersentuhan dengan samsak itu tiap kali ia layangkan tinjuannya. Sama sekali tidak ada ekspresi kesakitan di wajahnya, begitu datar. Nafasnya pun masih teratur pertanda apa yang dilakukannya satu jam ini bukanlah hal yang melelahkan.
"Jason, hentikan," ucap seorang anak dengan rambut pirang yang sedari tadi hanya duduk mengawasi anak yang terus meninju samsak di sudut ruangan itu.
"Biarkan saja dia, Sean. Bantu aku membersihkan genangan ini saja daripada hanya duduk diam disana," ucap lelaki lain yang sedari tadi mengepel lantai yang digenangi cairan berwarna merah. Lelaki yang dipanggil Sean itu bangkit lalu mengambil kain pel lain dan mulai melakukan apa yang diucapkan lelaki itu.
Sementara kedua remaja lainnya membersihkan genangan darah di lantai, seorang anak lelaki lain hanya menatap datar pada layar televisi yang menayangkan sebuah program berita tengah malam. Hanya suara televisi yang bergema pelan mengisi sunyi di ruangan itu selain suara berirama dari pukulan pada samsak di sisi lain ruangan. Remaja itu hanya duduk diam di atas sebuah kursi kayu. Namun itu tak berlangsung lama, remaja itu keluar dan kembali membawa sebuah koper berukuran sedang.
"Jason, berhentilah membuat suara," tegur remaja berambut coklat yang hanya menatap datar pada lelaki dengan samsak.
Ia pun menyuruh kedua remaja yang lain untuk mempercepat pekerjaan mereka lalu berkumpul di meja makan. Tanpa menjawab, lelaki yang dipanggil Jason tadi bangkit meninggalkan samsak medium yang sedari tadi menjadi sasaran pelampiasan emosinya sedangkan kedua remaja lainnya langsung bergegas membersihkan genangan di sudut ruangan itu.
"Bagaimana sekarang, Alex?" tanya Jason kepada lelaki berkoper yang kini sibuk mengutak-atik laptop putihnya. Tidak ada jawaban, hanya tatapan datar sekilas yang ia peroleh.
"Jass, lain kali lakukan dengan bersih," dengus lelaki berambut pirang tadi, Sean, yang datang dengan tangan basah.
"Iya iya. Maaf kan aku,"
"Sudahlah. Ini uang kepala tikus bawah tanah itu. Kita tidak bisa berada disini lagi. Kepolisian sudah mengendus keberadaan kita," lelaki berambut coklat itu menyodorkan koper berisi uang pecahan US$100 ke atas meja. Ia lalu mengambil 10 ikat dan meletakkan masing-masing dihadapan ketiga rekannya dan juga dirinya. Disodorkan pula sebuah koran ke hadapan ketiga remaja itu.
"Aku akan pergi ke Hongkong. Berbahaya jika kita semua masih berkumpul seperti ini," lanjutnya.
"Ya, aku setuju dengan Alex. Kemarin lusa aku melihat seorang yang kucurigai polisi menanyakan tentang kita berempat di kota. Oke, aku akan pergi ke Inggris," ucap Sean yang kemudian menatap Jason dan lelaki lain yang duduk dihadapannya. Sadar sedang ditatap, ia menoleh pada Sean.
"Aku akan menetap di Kanada," ujar Jason yang kemudian menatap lelaki disampingnya, "Bagaimana denganmu, Kevin?"
"Aku akan tetap tinggal," lelaki yang dipanggil Kevin itu tersenyum lalu bangkit menuju kamarnya. Tak lupa ia bawa uang yang tadi telah dibagikan oleh Alex.
Pagi yang suram. Awan masih setia menghiasi langit menaungi kota kecil itu dalam bayangannya. Di salah satu kursi tunggu keberangkatan terduduk empat remaja dengan pakaian santai di sebuah bandara. Hanya sebuah tas kecil berisikan uang tunai sebagai modal untuk memulai hidup di tempat asing. Tidak ada barang lain yang mereka bawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The (Psyco) Godfather
RandomJangan mencari masalah denganku. Jika tidak aku yang akan datang membantaimu dengan tanganku sendiri - Alexandro Alvaro