XX

34 3 0
                                    

Keduanya menoleh ke arah seorang pemuda yang berlutut dengan sekotak kecil cincin di tangannya. Seorang wanita dengan sebuket bunga di pelukannya itu hanya tersipu malu melihat pria dengan pakaian formal itu melamarnya di depan umum.

"Apa? Kukira kau juga akan menyodorkan sebuah cincin sepadaku. Ternyata hanya permen dan hanya sebungkus," ledek wanita yang kini tertawa ringan.

Wanita itu masih tertawa dengan sebungkus permen kecil rasa apel di tangannya. Jason yang kembali berjalan dengan posisi tetap merangkul wanita itu hanya berdecak sebal. Ia hanya diam dan menyimpan segala sumpah serapahnya dalam hati.

"Eh, kau tahu aku tidak suka rasa jeruk," ucap wanita itu yang langsung memuntahkan permen berukuran kecil itu dari mulutnya. Ekspresi wajahnya yang semula berseri-seri, kini berubah masam.

"Aku tidak tahu jika bungkus kuning itu rasa jeruk, kupikir lemon, atau mungkin peach," jawab pria itu sekenanya.

"Aku tahu kau masih ingat jika aku tidak menyukai segala sesuatu yang rasanya masam,"

"Tidak,"

"Jangan bohong kepadaku, Xavier," potong wanita itu dengan nada tajamnya. Diliriknya sekilas Jason yang masih memandang lurus pada jalanan.

"Kapan aku berbohong padamu?" tanyanya yang kini melirik sekilas pada wanita yang memasang ekspresi kesalnya, bibir mengerucut kedepan lengkap dengan pipinya yang ia gembungkan.

"Tadi,"

"Ya, memang,"

Dua kata yang diucapkan Jason berhadiah sebuah cubitan kecil di pinggangnya. Ia reflex mengaduh kesakitan saat cubitan yang menghantarkan rasa panas yang ia yakini bisa meninggalkan bekas kebiruan dengan wajah yang datar. Keduanya lantas tertawa ringan setelahnya. Sejumlah orang yang berpapasan atau sejajar dengan kedua insan berlainan jenis itu hanya menatap iri pada mereka.

Sesaat masuk ke gang sempit dimana pintu ruangan bawah tanah Hanna berada, Jason hanya mendorong Hanna masuk terlebih dahulu. Disuruhnya wanita itu untuk mengunci pintu, dan tidak membukanya sampai Jason sendiri yang mengetuknya. Wanita itu mengangguk. Ia berjalan masuk kemudian mengunci pintu berlapis itu dari dalam. Ia pustuskan untuk duduk didepan layar yang menampilkan rekaman cctv dari pintu depan dan sejumlah sudut dan sisi bangunan yang ia tempati. Punggung Jason pun perlahan menghilang dari jangkauan pandang cctvnya.

Pria yang mengenakan kaus hitam tanpa lengan itu hanya berjalan santai dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku jeansnya. Tadi, ia titipkan jaket putihnya pada wanita yang kini ia yakini memandangi layar cctvnya tanpa berkedip. Ia terkekeh pelan mengingat tingkah wanita yang sudah ia anggap adik tadi. Langkah Jason berhenti tepat di sebuah toserba kecil yang tadi menarik matanya. Tanpa ragu, ia langsung masuk ke dalam.

"Selamat datang," suara seorang wanita tua berusia lanjut yang duduk di balik kasir langsung menyapa gendang telinga pria itu saat baru saja memasuki toko itu.

Jason hanya tersenyum sebelum melangkahkan kakinya berkeliling toko dengan nuansa krem. Setelah puas berkeliling, ia ambil sebuah keranjang kayu yang terletak dekat pintu masuk, lalu kembali menyusuri jalanan yang terletak di antara rak-rak yang menjulang itu. Tangannya dengan cekatan mengambil beberapa jenis makanan ringan pula dengan minuman dalam kaleng, juga susu..

Setelah puas berkeliling, ia berjalan santai menuju kasir. Tangannya menyodorkan keranjangnya yang sudah penuh kepada bibi yang duduk dibalik meja kasir. Wanita itu tersenyum dan mulai menghitung satu per satu belanjaan Jason.

"Lanjutkan saja, bibi. Saya ingin mengambil beberapa barang lagi," Jason tersenyum menjelaskan maksudnya saat wanita tua itu berhenti menghitung belanjaan Jason saat pria itu berbalik.

Dengan sebuah keranjang baru ditangannya, ia mengambil sebuah celana jeans yang nampak pas dengan ukuran kakinya. Selain sebuah jeans berwarna hitam, Jason juga mengambil sebuah kaus berlengan pendek berwarna hijau army, sebuah topi berwarna hitam polos, juga sepasang kaus kaki berwarna hitam. Kaki pria itu masih terus berkeliling hingga langkahnya terhenti melihat sesuatu yang terpajang di rak toko.

Senyuman tipis tersungging di bibirnya saat ia menemukan permen karet favoritnya yang ternyata dijual pula di sebuah toko kecil di Kowloon. Tanpa ragu, ia mengambil langsung sepuluh bungkus permen mint-lemon itu sebelum kembali menuju kasir dimana wanita tua disana sudah selesai menghitung barang belanjaan keranjang pertama Jason.

"Semuanya 879,4 dolar, nak," ucap wanita itu setelah membaca total biaya belanjaan Jason.

"Terima kasih. Bibi simpan saja kembaliannya," ucap Jason yang langsung pergi membawa tiga kresek cukup besar yang berisi barang belanjaannya setelah meletakkan beberapa puluh lembar uang pecahan seribu dollar yang ia ambil dengan asal dari dalam saku celananya, meninggalkan bibi yang ia yakini kaget atas jumlah uang yang ia berikan.

Masih dengan langkah ringan, pria itu berjalan santai kembali menuju ke tempat dimana Hanna berada. Kurang dari satu jam, pria itu kembali. Belum sempat ia mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka menampakkan Hanna yang dengan cepat menarik pria itu masuk.

"Ada apa?" Tanya Jason yang terheran-heran akan sikap wanita yang masih mengenakan jeans dan sweater rajut yang tadi ia kenakan.

"Kau tahu pria yang menatap kita di kedai tadi?" Jason hanya mengangguk ragu mendengar pertanyaan wanita itu karena dirinya sudah lupa dengan wajah mereka, "Mereka anggota mafia. Dan informanku di organisasi mereka mengatakan jika mereka akan segera kemari. Mengambilmu!"

Jason nampak tidak terkejut. Sebelah alisnya terangkat. Ia berjalan menuju kulkas dan meletakkan belanjaannya di dalam sana. Tak lupa diambilnya air yang telah membeku dalam bentuk kubus lalu dimasukkan ke dalam ember yang kini terisi oleh botol winenya.

"Tidak masalah, Hanna. Jangan terlalu panik hingga kau melupakan siapa aku yang sebenarnya," dihempaskannya tubuhnya ke bean bag yang tadi ia duduki, "aku ingin meminta sesuatu kepadamu. Inilah mengapa aku berada di hongkong saat ini,"

"Dasar manusia," gumam Hanna yang beranjak pergi menuju sebuah lemari besi. Diambilnya salah satu laptop berwarna putih dari sekian banyak laptop yang memenuhi lemari itu sebelum akhirnya kembali menuju sofa.

"Kau juga manusia, bodoh. Aku sudah berjanji padamu. Kakakmu ini tidak akan mati semudah itu," Jason terkekeh pelan sebelum kembali meminum

Keduanya memang tidak saling memiliki ikatan darah, namun keduanya saling terikat dengan ikatan kakak adik. Wanita 23 tahun itu dahulu ia temukan sedang meringkuk ketakutan saat pria yang selama ini menyiksanya dihabisi oleh Jason. Dahulu, ia hanyalah seorang gadis kecil yang memohon pada Jason untuk menghabisinya pula, namun Jason menolak permintaan gadis ingusan itu.

'aku tidak dibayar untuk menghabisimu,'

Tidak memiliki tempat untuk pulang, gadis itu memaksa dan terus menguntit Jason, membuat remaja itu muak. Namun, pada titik itu secara tidak langsung Jason yang masih berusia 17 tahun dapat menerima kehadiran wanita yang berusia 6 tahun lebih muda darinya itu. Waktulah yang bertanggung jawab akan keakraban yang kini mereka jalin. Ikatan yang memang belum sedalam ikatan antara Jason dengan Kevin, Alex, maupun Sean, namun lebih dalam dari ikatan Jason dengan Sam.

Hanna yang masih berkutat dengan laptopnya mengabaikan pria yang kini menatapnya dalam diam dengan botol wine yang masih berada di genggaman jemarinya. Matanya terpejam saat ia putuskan untuk meletakkan botol winenya yang telah kosong. Dinikmatinya rasa hangat yang kini masih tersisa di tenggorokannya. Lengkap sudah makan malamnya, meski winenya terlambat.

"Jadi, siapa yang kau cari kali ini?" Tanya Hanna yang kini berpindah duduk di atas lantai, di samping Jason yang duduk di atas bean bag.

"Namanya Steven, Edward Stevenson." 

The (Psyco) GodfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang