VI

91 5 2
                                    

Suara bising yang berasal dari sebuah mesin uap tua terdengar dengan jelas di sebuah gudang tua yang kini cukup terbengkalai. Tumpukan kardus yang berdebu hingga baja berkarat yang menghiasi sebagian besar gudang itu. Suara gonggongan anjing sesekali menghampiri indera pendengaran di sela deru mesin yang lama-kelamaan memekakkan pendengarnya. Gudang yang biasanya sepi itu kini diisi oleh beberapa puluh pria berbadan kekar. Sesekali angina berhembus masuk ke dalam dari jendela-jendela besar tanpa kaca yang menghiasi dinding berlumut gudang itu.

Alex yang baru saja tersadar dapat merasakan jika kedua tangan dan kakinya terikat. Posisi kepalanya yang menunduk terlebih lagi tertutupi oleh rambut medium length-nya yang tergerai jatuh kebawah menguntungkan dirinya untuk mengamati keadaan sekitar. Sekilas, dapat ia ketahui jika banyak pria yang berada di sekelilingnya. Ia kembali memejamkan matanya saat ia melihat kaki seorang pria yang berdiri di hadapannya.

"Apa dia masih belum sadar?" tanya seorang pria dengan jas putih yang kini berdiri dihadapan Alex.

"Kurasa aku tadi memukulnya terlalu keras," jawab seorang pria dengan pipa besi berdiameter kecil sepanjang satu meter ditangannya.

"Apa tuan akan kemari?" tanya seorang pria lain yang sibuk mengasah pisaunya di bawah tangga.

"Tidak kurasa, tuan sedang berada di Montreal,"

Alex yang mendengar obrolan singkat dari pria-pria itu langsung tertawa dalam hati. Ia sudah mengiranya. Bahkan, ia tidak akan berharap bertemu dengan Black Thunder secepat ini. Badannya yang sebelumnya terkulai lemas kini nampak bergetar pelan diiringi suara tawa yang keluar dari mulutnya. Hal ini membuat pria bersetelan putih dihadapannya mundur beberapa langkah. Tak hanya pria berjas putih itu, semua yang ada disana pula terkejut mengetahui psikopat yang duduk terikat dikursi kayu itu telah sadar.

"Pengecut," gumam Alex yang dapat didengar jelas seluruh orang yang berada di lantai terbuka itu. Mereka dengan jelas dapat menebak kepada siapa kata barusan ditujukan.

"Kau," ucap seorang pria berbadan besar yang tersulut emosinya.

Tanpa ragu pria itu mencengkram kerah kemeja putih yang Alex kenakan lalu melayangkan tinjuannya ke pipi kiri Alex. Kata-kata yang dilontarkan Alex baru saja berhasil membuatnya lupa akan sosok sebenarnya dari pria yang kini ada didepannya. Tinjuan itu begitu kuat hingga Alex dapat merasakan rasa anyir dari darah yang berasal dari pipi bagian dalamnya yang robek.

Alex masih terdiam. Kepala yang terkulai setelah menerima tinjuan itu kembali tegak. Kelopak mata itu membuka perlahan, menunjukkan iris hazel yang memancarkan rasa haus akan kematian. Dengan tajam iris itu menatap pria yang telah meninju pipinya, seolah-olah ia adalah santapan makan malamnya hari ini. Hal ini membuat pria itu melepaskan cengkramannya pada kerah kemeja Alex kemudian mundur beberapa langkah kebelakang dengan kaki bergetar. Dengan santai ia meludahkan darah dari luka robek di pipinya kedekat kaki pria besar itu.

"Hei, kau yang bertopi merah. Tolong ambilkan dan nyalakan cerutu di saku kemejaku," ucap Alex dengan santai. Lelaki yang dimaksud pun menatap khawatir ke pria berjas putih yang hanya mengangguk mengiyakan permintaan Alex.

Dengan berat hati ia berjalan mendekat lalu mengambil sebatang cerutu dari dalam saku kemeja yang Alex kenakan. Ia menyelipkan ujung ceritu itu ke bibir Alex lalu menyulutnya dengan pemantik yang sedari tadi ia genggam. Dengan langkah yang bergetar pula, ia kembali menjauh dan memilih duduk di atas lantai beton yang berdebu. Ia sadar dan merasakan dengan sangat jelas aura mengerikan selama sesaat berada di dekat Alex. Aura yang menyebabkan perasaan gelisah, tertekan, dan penuh ketakutan seperti yang sekarang ia rasakan. Mungkin benar apa yang dikatakan bosnya jika Alex adalah iblis.

"Ayolah, lakukan apa yang ingin kalian lakukan sekarang," tantang Alex yang masih menghisap cerutunya, "Jika kalian hanya diam, aku yang akan datang menerkam kalian,"

The (Psyco) GodfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang