Dedaunan dan ranting pohon bergerak melambai seolah memanggil Alex yang baru saja menghentikan motornya tepat di depan sebuah minimarket kecil di wilayah Ottawa. Tak lama lagi ia akan tiba di tujuan terakhirnya, Montreal. Wajah Alex yang kini mengenakan sebuah topi berlogo salah satuu club baseball besar di Amerika dengan sebuah kacamata Aviator yang membingkai wajah rupawannya menjadi daya tarik bagi beberapa wanita yang juga sedang berada didalam minimarket itu.
Suara bisikan dari para wanita terdengar seperti dengungan lebah yang begitu mengganggu baginya.. Alex sendiri hanya berdecih. Dan berusaha mengabaikan wanita-wanita yang kini tidak lagi ragu untuk menatapnya secara terang-terangan.
"Ya Tuhan, dia begitu tampan. Lihatlah tubuhnya yang terpahat dengan sempurna itu,"
"Dia lebih menggoda jika dilihat dari dekat,"
"Dia melebihi pria manapun yang pernah aku lihat,"
"Ya, aku setuju. Ditambah lagi ia mengendarai motor. Pesonanya menjadi berkali lipat,"
Tanpa ragu, ia yang baru saja melangkah sedikit jauh dari pintu kaca berhenti. Ia berbalik dan menatap kerumunan wanita yang kini tampak sedang mengantre di kasir, tempat suara itu berasal. Diangkatnya tangannya dimana sebuah cincin melingkar manis disana. Ia hanya berharap hal ini bisa meredam keributan yang wanita-wanita itu timbulkan.
"Siapa wanita yang mendapatkan suami seperti dia? Dia pasti beruntung sekali,"
"Ya, kau benar. Aku setuju denganmu,"
Ekspresi kecewa dapat Alex tangkap dengan jelas terpancar dari mimik wajah wanita-wanita itu setelah melihat cincin kelabu dengan batu mulia hitam di tengahnya. Dihembuskannya nafasnya yang kini terasa lebih ringan. Suara mengganggu itu akhirnya berhenti saat derap langkah beberapa pasang kaki terdengar dengan begitu samar sebelum akhirnya benar-benar lenyap.
Pria itu menyusuri minimarket itu sesaat sebelum akhirnya berhenti di rak makanan dan minuman. Diraihnya sebungkus roti dengan selai kacang pula sekotak susu tanpa rasa. Tak lupa sebungkus cerutu coklat favoritnya. Ditengah langkahnya, pria itu berhenti. Seorang pria yang begitu familiar dalam ingatannya tampak sedang mengisi bensin mobilnya di stasiun bahan bakar di yang berada tepat di depan minimarket.
Dibayarnya dengan segera belanjaannya yang kini berada dalam kantung kresek putih yang ia gantungkan pada stang motornya. Dengan tergesa, ia memacu motornya mengikuti SUV hitam yang dikendarai oleh pria itu. Selama perjalanan, Alex memilih untuk memacu motoornya sambil melahap roti yang ia beli lalu meminum habis susu tanpa rasanya.
SUV itu berhenti di tepian hutan konservasi yang membentang di tepian kota. Alex yang mengekor beberapa meter dibelakangnya mau tak mau ikut berhenti. Kening pria itu berkerut saat mendapati pria yang dibuntutinya keluar, dan berjalan masuk kedalam hutan. Masih menjaga jarak aman, Alex melakukan hal serupa.
DOR
Sebuah peluru melesat dari sebuah pistol dengan peredam suara. Timah panas itu kini bersarang pada pohon dimana Alex tidak bersembunyi dibaliknya. Diraihnya sebilah pisau filet khusus yang kini ia genggam di tangan kirinya yang menemani scalpel di tangan kanannya. Alex hanya bisa memicingkan matanya saat ia mendengar pria itu tertawa.
"Mau sampai kapan kau mau menguntitku huh?" ucap pria itu dengan nada suara menantang.
"Harusnya kau lebih pandai bersembunyi," lanjutnya dengan nada sinis yang begitu kentara.
DOR
Lagi, sebutir timah panas mendarat pada batang pohon yang sama, alex memicing melihat sesuatu yang tidak asing dimatanya. Seekor katak dengan warna biru menyala lengkap dengan corak hitam. Diinjaknya katak itu secara perlahan, lalu diusapkannya pisau fillet itu ke permukaan kulit katak yang kini kian basah.
"Baiklah. Aku menyerah," ucap seorang pria yang kini keluar dari balik pepohonan yang tertutupi oleh lebatnya semak-semak pada bagian bawahnya, "Aku hanya diminta mengantarkan paket kepadamu dari bosku,"
"Paket? Bosmu?" beo pria bermata sipit itu.
"Racun yang kau minta. Racun murni yang kini berada dalam peluru ini," di berikannya sebutir peluru yang nampak seperti peluru biasa, secara sekilas.
"Oke, pergilah,"
Sepeninggal pria berkulit hitam yang ternyata merupakan pengendara van yang sedari di jalan selalu berada di antara motor Alex dan SUV hitam pria sipit itu. Tangan pria itu tampak membongkar ulang loader pelurunya dan menyelipkan peluru beracun yang baru saja ia terima kesana.
Pria itu mendongakkan kepalanya menatap langit yang tertutupi oleh dahan pohon yang dengan hebatnya membentuk sebuah kanopi dan memayungi hutan dimana ia berada. Matanya memejam menikmati semilir angin yang menerpa wajah putihnya. Alex tidak hanya tinggal diam, ia segera bergerak untuk mendekati pria itu.
Saat kembali mengintip dibalik batang pohon tempatnya bersembunyi, Alex tersenyum sinis saat mengetahui pria itu berjalan menuju pohon tempatnya bersembunyi tadi. Dengan cepat ia bergerak, menepuk bahu pria itu, lalu menghadiahi sebuah tinjuan tepat pada telinga pria itu. Alex sadar jika kekuatan fisiknya tidaklah sekuat Jason yang dapat menjatuhkan lawannya dengan tamparan punggung tangannya.
"Alan? Apa yang kaulakukan disini?" Tanya pria itu. Keningnya berkerut menatap bosnya yang hanya mengenakan Kaus hitam dibalut dengan jaket berwarna senada.
"Steve? Seharusnya aku yang menanyakan hal itu kepadamu," Alex mengusap kepala belakangnya, setelah tadi dengan cepat ia memasukkan dua senjata tajam yang ia genggam ke dalam saku jaketnya.
"Ada yang harus kuurus disini," jawabnya dengan santai, "lalu kau sendiri?"
"Aku sedang mencari seseorang. Aku tadi berhenti karena ada yang harus aku cari di hutan. Kebetulan saat aku lewat sini aku melihatmu. Jadi kuhampiri saja,"
"Lalu untuk pukulanmu tadi? Telingaku berdenging karena itu," ucap Steve dengan nada tidak terimanya.
"Entahlah. Tiba-tiba saja aku ingin memukulmu. Lagi pula, kau masih berhutang padaku," jelas Alex yang masih santai.
"Hutang apa? Aku tidak merasa pernah berhutang kepadamu,"
Alex terdiam, sorot matanya menajam sesaat sebelum mata itu memejam. Suara tawa lolos dari Alex yang kini menunduk. Tangannya bergerak menyisir rambut coklatnya beberapa kali. Keheningan yang menyelimuti hutan ini membuat suara tawa yang lirih itu terdengar dengan sangat jelas.
"Jelaskan hutang apa itu Alan!" desis Steve yang kini menatap tajam pada pria yang masih diam dalam tawa lirihnya.
"Kenapa aku harus menjelaskannya lagi kepadamu? Kau sendiri yang menyetujui perkataanku 11 tahun yang lalu!" nada bicara pria itu masih tetap lirih, namun penuh akan penekanan.
"Katakan saja apa hutangku itu, brengsek!" bentak Steve yang makin tidak mengerti hutan apa yang ia miliki kepada pria dihadapannya itu.
Tawa lirih Alex kini perlahan berubah menjadi tawa sinis yang terdengar menggema ke segala penjuru hutan. Hawa mengerikanpun menguar dari diri pria yang kini berjalan mendekati Steve yang masih diam ditempatnya berdiri.
BUGH
Sebuah tinjuan yang cukup kuat ditujukan tepat pada ulu hati Steve oleh Alex. Ia sendiri mendekatkan wajahnya ke telinga pria bermata sipit itu. Sebuah senyum miring tercetak dibibirnya sebelum mulut itu terbuka, mengucapkan dua kalimat yang membuat tubuh pria itu membeku ditempat.
"Kau berhutang nyawa padaku, Steve. Dan aku ingin menagih nyawa itu sekarang,"
![](https://img.wattpad.com/cover/157477999-288-k806110.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The (Psyco) Godfather
RandomJangan mencari masalah denganku. Jika tidak aku yang akan datang membantaimu dengan tanganku sendiri - Alexandro Alvaro