XVII

40 4 0
                                    


Suara tawa yang berasal dari pria berkaus hitam yang kini menunduk itu terdengar memecah keheningan yang tercipta secara tiba-tiba di club malam itu. Pria itu masih enggan untuk melihat, terlebih lagi untuk berbalik menghadap kedua manusia sejenis yang kini mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencoba meredam emosi mereka yang tiba-tiba saja tersulut hingga ke ubun-ubun.

"Huh, seharusnya kalian yang pergi dari klubku," ucap Jason tanpa menoleh sedikitpun kebelakang, "klub ini sudah menjadi milikku, bukan lagi milikmu, Tuan Kern. Apa kau lupa sudah menandatangani surat pengalih kekuasaan seluruh asset berhargamu?"

Jason berbalik. Sorot tajamnya langsung menatap lurus pada kedua pria yang kini mulai gelisah. Tawa Jason berhenti begitu saja. Ia bangkit dengan tangan menggenggam sebotol alcohol yang baru saja diberikan oleh bartender kepadanya.

Pria paruh baya itu membeku ditempat. Sungguh ia tidak mengetahui jika pria yang ia hadapi sekarang adalah pemilik baru seluruh asset-asetnya. Wajahnya langsung memucat mengingat kata-kata bodoh yang baru saja terlontar dari mulutnya. Ekspresi yang sarat akan rasa takut terpancar dengan begitu jelas dari wajahnya yang kini dibanjiri oleh keringat dingin.

"Tuan Peterson? Maafkan aku," pria itu langsung menunduk saat Jason berjalan menghampirinya.

"Sepertinya kau yang akan mendekam di penjara selamanya," bisik Jason dengan dingin sebelum beralih menuju tangga yang akan membawanya menuju beberapa ruang VVIP di lantai 2.

Suasana langsung berubah seketika saat sosok Jason menghilang dari pandangan mereka. Hampir seluruh pandangan jatuh pada lelaki yang kini ditatap dengan tajam oleh ayahnya. Bisikan antar pengunjung pun terdengar seperti suara dengungan lebah bagi pria paruh baya yang kini berusaha mati-matian menahan emosi dan rasa malunya.

"Club tutup lebih awal, kalian sekarang pergilah," ucap pria itu dengan nada sombongnya.

Kejadian barusan hanya dianggapnya seolah sebuah mimpi buruk yang harus ia lupakan. Bagaimanapun gengsinya akan segala reputasi dan kehormatan yang ia miliki lebih tinggi sehingga seolah memutus segala urat malu untuk mengakui jika posisinya sekarang telah jatuh, tidaklah seperti dahulu. Suara bisikan kini terdengar semakin keras. Kalimat sumpah serapah kini dilontarkan oleh pengunjung yang tidak terima atas ucapan pria paruh baya tersebut.

"Hei, club ini bukan lagi milikmu. Seharusnya kalian yang secepanya angkat kaki dari tempat ini," ucap wanita yang masih duduk di kursi barnya, wanita yang tadi mengobrol singkat dengan Jason, Siena.

"Kau," desis pria itu saat Siena berkacak pinggang tepat didepannya.

"Ajari putarmu cara untuk bersopan santun," bisik Siena dengan santai sebelum berjalan menuju tangga untuk mencari tahu dimana Jason berada, "setidaknya itu mungkin membantunya untuk mendapatkan pengurangan masa tahanan,"

Derap langkah wanita itu tersamarkan dengan dentuman music yang kembali menyapa gendang telinga. dibukanya beberapa pintu berwarna hitam sebelum akhirnya ia berjalan menuju sebuah ruangan lapang yang hanya dibatasi dengan dinding dan pintu kaca. Ia tersenyum saat mengetahui pria yang dicarinya sedang berbaring di sofa hitam di sudut ruangan. Tidak ada orang lain disana selain pria berambut hitam itu. Tanpa ragu, Siena berjalan santai mendekati pria yang tengah memejamkan mata itu dengan langkah ringan.

"Hei, bangun. Setidaknya obatilah dahulu lukamu," tegur Siena yang tentu saja diabaikan oleh Jason. Wanita itu berdecak.

"Pergilah sebelum security yang menyeretmu keluar dari tempat ini, nona," Jason mengubah arah tidurnya menjadi menghadap sandaran belakang sofa yang otomatis membuatnya membelakangi wanita itu.

Pria 29 tahun itu menghembuskan nafas leganya saat mendengar langkah kaki yang dihentak-hentakkan berjalan menjauh. Suara derap langkah itu menghilang bersamaan dengan bantingan ringan pada pintu kaca ruangan utama lantai itu oleh sosok wanita 26 tahun berambut pirang tadi.

Keheningan pun menyelimuti ruangan yang kini ditempati Jason. Kerasnya dentuman music yang dibawakan oleh disk jockey kenamaan di lantai bawah bahkan tidak dapat menembus sekat peredam suara yang dipasang di ruangan bernuansa hitam-biru itu. Meski matanya terpejam, kesadaran pria itu masih 100%.

Deru mesin pendingin ruangan adalah satu-satunya sumber suara yang memenuhi ruangan itu saat wanita dengan kemeja kedodorannya kembali dengan kotak P3K di tangannya. Ia hanya bisa menghela napas saat mengetahui pria yang ia hampiri lagi sedang berlayar menuju pulau mimpi. Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat melihat pria itu masih bisa tidur dengan nyenyak meskipun dengan jelas terlihat sebuah serpihan kaca yang menancap di bahunya.

Wajah damai dan teduh pria jangkung itu seolah menghipnotis wanita itu untuk memperhatikannya dengan lebih intens. Ia berjalan mendekat lalu meletakkan kotak P3K yang ia minta dari bartender secara paksa di atas meja kaca. Diamatinya kontur wajah rupawan Jason yang begitu khas dengan jambang tipis yang menghiasi bagian rahang kokohnya sekali lagi. Rambut hitam legamnya yang dipotong rapi begitu serasi dengan alis tebalnya.

Siena berbalik dan langsung berjalan kembali saat ia merasakan getaran lemah dari ponsel yang berada di saku celananya. Dibukanya kunci layar ponsel putih miliknya sebelum ia membuka pintu kaca yang berada tepat dihadapannya. Ditatapnya lagi Jason yang tidur menyamping di atas sofa.

"Sebenarnya tujuanku kemari adalah membicarakan bisnis, tapi justru aku terseret pada drama bodoh pengusaha yang diperbudak uang," gumam Siena yang terdengar cukup jelas di ruangan yang begitu sunyi itu.

Dengan langkah ringan, ia keluar dari ruangan itu meninggalkan Jason yang membuka kelopak matanya. Ia bangkit dan memilih duduk. Matanya tertuju pada kotak P3K, sebuah kaus hitam tanpa lengan juga sebuah jaket bertuliskan Armany Jeans. Tanpa bersuara, dilepasnya kaus hitam yang sudah basah akan cairan kental berwarna merah miliknya.

Tangan kekar itu mencabut asal serpihan kaca sepanjang 7 cm yang menancap di bahunya. Rembesan darah kini semakin deras mengucur keluar membasahi kulit putih miliknya. Seberkas rasa perih berdenyut yang menghampiri bahunya ia abaikan. Fokusnya kini teralih pada isi kotak berwarna putih itu.

Ekspresi datar Jason masih tidak berubah saat tangannya bergerak mengusapkan kasa yang telah ia basahi dengan alcohol pada luka menganga di bahunya. Setelah selesai, ia tempelkan pelester berwarna putih yang ia pasang dengan posisi menarik sehingga luka menganga itu mengatup. Dipakainya kaus dan jaket yang tergeletak di meja sebelum ia keluar dari ruangan itu membawa kausnya yang akan berakhir pada tempat sampah juga kotak p3k yang akan ia kembalikan pada bartender sebelum ia membayar minuman yang telah ia habiskan malam ini.

Langit yang cerah mala mini menunjukkan bulan yang bersinar redup jauh di ketinggian. Pancaran sinar dari lampu yang terpasang menerangi seantero kota fashion ini masih tetap terang benderang walaupun jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Angin malam berhembus tidak begitu dingin, mengingat musim panas sudah menyingsing di beberapa hari lagi.

Jason hanya berjalan dengan memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaket yang tidak ia resletingkan. Kepalanya yang sedikit menunduk tidak berarti bahwa pria 179 cm itu tidak memperhatikan jalanan. Dengan acuh ia langsung masuk kedalam sebuah hotel kecil yang terletak tak begitu jauh dari menara eifel. Matanya memicing saat ia mendapati sosok yang cukup familiar baginya.

Wanita berrambut pirang dengan manik mata hijau gelap itu nampaknya sedang membicarakan sesuatu yang cukup penting dengan seorang pria di lobby hotel. Wanita yang masih mengenakan kemeja putih tipis kedodoran itu menangkap sosok Jason yang kini berjalan tak acuh menuju lift di salah satu sisi hotel. Tampak dengan jelas jika konsentrasi wanita itu terpecah, antara pria dengan setelan kemeja lengkap di hadapannya, dengan Jason yang sosoknya telah lenyap dari pandangannya bersamaan dengan pintu lift yang telah menutup. Jika saja bukan masalah pekerjaan, ia pasti lebih memilih mengejar pengusaha kaya raya asal Kanada itu.

"Jadi, apa saja yang kau dapat selama beberapa bulan di Eropa, Jas?"



Terima kasih kepada para readers yang masih bersedia membaca story absurd ini

Kritik sarannya ditunggu ya~

The (Psyco) GodfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang