January, 2020
Dengan santai seorang lelaki dengan setelan formal berjalan memasuki lobi sebuah gedung perusahaan besar yang mengusung konsep futuristic. Seluruh mata pun menjatuhkan pandangan pada lelaki dengan jas berwarna kelabu yang langsung menghilang di balik pintu lift. Bisikan samar pun mengekor dibelakang kepergian lelaki yang baru saja menekan tombol menuju lantai tertinggi.
"Uhm, maaf pak. Apa anda sudah membuat janji dengan Mr. Smith?" Tanya seorang wanita muda yang duduk di sebuah meja kerja di luar pintu megah bercat hitam.
"Tidak. Aku tidak pernah membuat janji temu dengan siapapun seumur hidupku," jawab si lelaki yang hendak langsung membuka pintu apabila wanita dengan jabatan sekretaris itu kembali angkat suara.
"Tapi pak, anda tidak bisa menemui Mr. Smith jika belum membuat janji," ucap sang sekretaris yang tetap kekeh dengan peraturan perusahaannya.
"Dia tidak di dalam kan? Diamlah saja, jangan beri tahu dia jika ada seseorang menunggunya didalam," jawab lelaki bermanik hazel itu sebelum ia menghilang di balik pintu.
Tanpa suara, diamatinya kantor luas dengan sebuah meja kerja kokoh dari kayu ditengah ruangan. Di sudut terdapat satu set sofa mewah dengan lapisan beludru berwarna perak. Tepat di belakang kursi besar yang berada di balik meja terdapat dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan luar yang dipenuhi gedung pencakar langit.
Lelaki itu hanya diam memandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan 100 meter dibawahnya. Kedua tangan kokohnya ia masukkan kedalam saku celananya. Sorot matanya menatap tajam ke bawah sana. Ruangan luas itu begitu sunyi, bahkan tidak ada satupun suara di dalam sana selain deru mesin pendingin ruangan yang terpasang di langit-langit.
Tak begitu lama menunggu, suara pintu yang terbuka menarik perhatiannya. Tanpa membalikkan badannya ia sudah tahu siapa yang masuk ke dalam ruangan tempatnya berada sekarang jika bukan pemilik aslinya.
"Well, aku tidak menyangka jika harus menerima tamu seseorang sepenting dirimu sepagi ini," ucap lelaki berambut pirang yang kini bersandar pada pintu yang kembali menutup.
"Aku yang seharusnya bertanya, Mr. Smith. Mengapa kau susah-susah menyuruh Francis merencanakan percobaan pembunuhan kepadaku?" Tanya lelaki yang masih berdiri memunggungi pemilik ruangan.
"Seharusnya itu tidak menjadi masalah besar, Tuan Alvaro. Lagipula kau masih hidup hingga sekarang," jawab lelaki yang kini berjalan dari tempatnya bersandar.
Keduanya kini berdiri bersebelahan. Tanpa minat sedikitpun untuk melirik, keduanya hanya menatap lurus kedepan. Selama beberapa menit keduanya saling diam.
"Apa maksudmu yang sebenarnya, Mr. Smith?" Tanya lelaki bermata hazel itu sebelum keningnya berkerut samar, "apa tidak ada nama lain selain Smith? Nama itu begitu aneh di mulutku,"
Lelaki bernama Smith itu tergelak. Ia berbalik dan memilih bersandar pada kaca transparan di belakangnya. Tatapannya jatuh pada ujung sepatu fantoeflnya yang meruncing.
"Bagaimana kau tahu dalang dari tragedi yang menimpamu adalah aku, Alvaro?" Tanya Mr. Smith pada lelaki bermata hazel itu, Alexandro Alvaro.
Alex memejamkan matanya. Pikirannya bekerja mencoba mengingat premis-premis kecil yang membuatnya mengambil kesimpulan ini. Terlebih lagi seharusnya lelaki pirang bernama Mr. Smith ini sudah mati.
"Yang pertama, lelaki yang memberikan racun pada Francis. Ia memiliki luka memanjang di bibirnya, luka yang kau berikan pada mereka yang bekerja padamu serta anting aneh berwarna perak. Yang kedua, tato kecil di pergelangan tangan Francis. Tidak bisakah kau menggambar sesuatu yang lebih elite? Ayolah, itu gambar UFO yang mengerikan, bung" sinis Alex di akhir kalimatnya membuat Mr Smith terkekeh.
"Dan yang paling jelas adalah ukiran di bagian dalam slongsong peluru sialan itu. Kau tahu aku hampir mati karenanya!" lanjutnya, "Kukembalikan padamu!"
Mr. Smith menangkap sebutir peluru berwarna keemasan yang dilemparkan Alex padanya. Senyum miring terbentuk di bibirnya saat mengingat pesan tersembunyi yang ia selipkan dalam peluru itu. Peluru yang ia siapkan dengan racun yang ia suling sendiri selama berada di pulau terpencil di tengah samudra.
Kau merindukanku, adik kecil? Cari dan temui aku, baik ya maupun tidak.
"Ayolah. Apa kau tidak berniat membalasku karena sudah bermain denganmu, Alvaro?" Tanya Mr. Smith yang membuat lelaki itu mendengus.
"Tidak. Aku tidak memiliki alasan untuk menghabisi saudaraku sendiri meskipun aku sangat ingin kepalamu seperti bajingan itu melubangi paru-paruku,"
Keduanya kembali bungkam. Lelaki bernama Smith itu memilih duduk dan menyelesaikan tumpukan dokumen kontrak dan beberapa dokumen lain yang perlu ia tanda tangani sementara Alex lebih memilih mempertahankan diamnya. Mata hazelnya menatap datar pada lelaki yang ia temui kali ini.
Pikirannya mengembara, mulai mengingat kapan terakhir kali keduanya bertemu. Rambut pirangnya, rahang kokohnya yang kini ditutupi dengan jambang tipis yang nampak selalu ia rapikan. Ditariknya napas dengan dalam. Nyeri. Luka bekas tembakan yang sempat melukai paru-parunya belum pulih seutuhnya.
"Jadi, apa tujuanmu yang sebenarnya, Sean Spancer?"
Kurang memuaskan ya endingnya?
Baca chapter selanjutnya yaa~

KAMU SEDANG MEMBACA
The (Psyco) Godfather
DiversosJangan mencari masalah denganku. Jika tidak aku yang akan datang membantaimu dengan tanganku sendiri - Alexandro Alvaro